Arah Politik PDIP Jelang Pilpres 2024, Oposisi atau Koalisi?

Tangkap layar
Sumber :
  • Youtube total politik

Siap –Hubungan antara PDI Perjuangan (PDIP) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin menunjukkan tanda-tanda keretakan. 

PKB Pertimbangkan Lebih Banyak Wakil Anies Cak Imin: Belum Memiliki Niat Memasangkan dengan Sohibul

Hal ini tampak dari sejumlah peristiwa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

Salah satu peristiwa yang menjadi sorotan adalah mundurnya putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dari kepengurusan PDIP. Gibran diketahui membelot menjadi Cawapres Prabowo Subianto Pada Pilpres 2024.

Polemik Judi Online, Menkominfo hingga Wulan Guritno Jadi Sorotan

Pengamat politik Adi Prayitno menilai, mundurnya Gibran dari PDIP merupakan salah satu tanda bahwa Jokowi dan PDIP sudah "talak tiga". 

Menurutnya, peristiwa ini semakin memperkuat tesisnya bahwa PDIP akan menjadi oposisi di Pilpres 2024.

Dituntut 5 Tahun Penjara, Eks Bupati Kutai Barat Ismail Thomas Kepergok Tidak Ditahan, Oh Ternyata

"Kalau mau jujur melihat hubungan Gibran dan PDIP ini kan sebenarnya sudah lama ya tak harmonis ya bahkan sudah terendus itu sejak 2021 yang lalu ketika ada isu soal Gibran sebenarnya masuk nominator orang yang dinilai punya punya kemampuan punya kapasitas dan bahkan punya kesempatan untuk jadi calon wakil presiden 2024 saat itu tapi konon juga tidak mendapatkan restu dari PDIP," kata Adi Prayitno dalam kanal YouTube Total Politik, Kamis 25 Januari 2024.

Adi Prayitno juga menyebutkan dua peristiwa lain yang menjadi tanda keretakan antara Jokowi dan PDIP. 

Pertama, Jokowi tidak hadir dalam perayaan ulang tahun ke-49 PDIP pada 10 Januari 2024. 

Kedua, Jokowi tidak memberikan ucapan selamat kepada Megawati Soekarnoputri yang berulang tahun pada 23 Januari 2024.

"Jika ditambahkan dengan keluarnya Gibran yang alasannya Jokowi, maka ini adalah talak 3 plus plus," kata Adi Prayitno.

Menurut Adi Prayitno, PDIP kemungkinan akan menjadi oposisi di Pilpres 2024 karena tiga faktor. Pertama, faktor ideologi. 

PDIP merupakan partai yang berideologi nasionalis-demokratis, sedangkan Jokowi dianggap lebih berideologi pragmatis.

Kedua, faktor personal. Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, diketahui memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan Jokowi.

Ketiga, faktor politik. PDIP diperkirakan akan kalah dalam Pilpres 2024.

Jika hal ini terjadi, PDIP kemungkinan akan menjadi oposisi untuk mengkritik pemerintahan baru.

"PDIP bukan partai yang pragmatis, PDIP adalah partai yang berideologi. Jadi, jika PDIP kalah, PDIP akan menjadi oposisi," kata Adi Prayitno.

Pengamat politik Adi Prayitno menilai, mundurnya kader PDI Perjuangan (PDIP) Bang Ara dari partai tersebut semakin memperkuat tesisnya bahwa hubungan PDIP dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah "talak tiga".

"Kalau mau jujur melihat hubungan Bang Ara dan PDIP ini kan sebenarnya sudah lama tak harmonis. Bahkan sudah terendus itu sejak 2014 yang lalu ketika ada isu soal bang ara masuk nominator orang yang dinilai punya kemampuan, punya kapasitas, dan bahkan punya kesempatan untuk jadi menteri saat itu," kata Adi Prayitno

"Pasca itu orang juga menilai bahwa hubungan PDIP dan Bang ara itu memang dalam tanda kutip ya itu ya sudah wasalam sebenarnya. Jadi kalaupun toh kemarin misalnya bang ara itu mengembalikan kartu anggota PDIP keluar dari PDIP, bagi kita yang melihat dari jauh enggak ada persoalan," imbuhnya.

Adi Prayitno juga menyoroti sikap Jokowi yang tak hadir dalam perayaan ulang tahun Megawati Soekarnoputri ke-75 pada 23 Januari 2024. 

Padahal, Jokowi masih berstatus kader PDIP.

"Jokowi hadir pun tidak, kasih video pun juga tidak, kasih karangan bunga pun juga tidak. Posting di Instagram aja enggak. Ya tiga unsur inilah kemudian saya ingin mengatakan ini adalah talak antara Jokowi dan PDIP," tegasnya

Adi Prayitno pun membandingkan situasi ini dengan kondisi PDIP di masa lalu, ketika partai tersebut masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

 Pada masa itu, sejumlah kader PDI sempat meninggalkan partai karena tak sejalan dengan kebijakan kepemimpinan Megawati.

"Dalam sejarah PDI Perjuangan ya ketika dalam masa masih PDI, nah itu ya selalu digoda-goda kadernya untuk apa ikut kekuasaan atau berjuang bersama rakyat," kata Adi Prayitno.

"Nah, contoh misalnya ketika dalam sejarah PDI itu kemudian PDI Pro Suryadi contohnya, nah itu digoda kemudian ikut kekuasaan. PDI Pro Mega yang kemudian menjadi PDI Perjuangan," imbuhnya.

Adi Prayitno menilai, PDIP dan Jokowi saat ini berada dalam fase yang sama seperti PDI dan Megawati di masa lalu. Keduanya mulai menempuh jalan yang berbeda.

"Jadi, kalau mau dibilang talak 3 plus, ya sudah talak tiga ditambah lagi dengan sejumlah orang yang terafiliasi dengan Jokowi," pungkasnya.

Pandangan pengamat politik Adi Prayitno soal PDIP yang akan menjadi oposisi di Pilpres 2024 semakin menguat setelah Gibran Rakabuming Raka mundur dari PDIP dan bergabung dengan Prabowo Subianto.

Adi Prayitno mengatakan, mundurnya Gibran dari PDIP merupakan "talak 3 plus" bagi hubungan PDIP dan Jokowi. 

"Ini sudah talak 3 ditambah lagi dengan sejumlah orang yang terafiliasi dengan Jokowi," kata Adi Prayitno

Adi Prayitno menjelaskan, hubungan Gibran dan PDIP memang sudah lama tidak harmonis. 

Hal ini terlihat sejak 2021, ketika Gibran disebut-sebut masuk dalam daftar calon wakip presiden 2024 Namun, Gibran akhirnya tidak mendapatkan persetujuan dari Ibu Megawati.

Pasca itu, hubungan Gibran dan PDIP semakin menjauh. 

Gibran bahkan sempat menyetujui politik sebagai cawapres kepada Prabowo Subianto.

"Mundurnya Gibran dari PDIP merupakan penegasan bahwa hubungan Jokowi dan PDIP sudah semakin jauh," kata Adi Prayitno.

Selain Gibran, sejumlah orang yang terafiliasi dengan Jokowi juga telah menunjukkan sikap yang tidak mendukung PDIP. 

Misalnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang sempat mengkritik Megawati Soekarnoputri.

"Ini menunjukkan bahwa Jokowi dan PDIP sudah tidak lagi bisa diselamatkan," kata Adi Prayitno.

Adi Prayitno memprediksi, PDIP akan menjadi oposisi di Pilpres 2024. 

Hal ini akan menjadi titik balik bagi partai yang selama ini menjadi bagian dari pemerintahan.

"PDIP akan menjadi oposisi yang kritis dan akan menjadi kekuatan yang penting dalam demokrasi Indonesia," kata Adi Prayitno.

Namun Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengungkapkan pandangannya soal isu PDIP akan menjadi oposisi setelah Pilpres 2024.

"Politik Jokowi cuma dari PDIP karena kebersamaannya 23 tahun. Di luar itu mungkin cinta monyet, cinta musiman, cinta anak SD. Kenapa cinta ini bertemu ya karena memang cinlok," ujar Masinton.

Masinton menjelaskan bahwa hubungan PDIP dengan koalisi pemerintah saat ini hanya didasarkan pada kepentingan pragmatis, bukan ideologis. 

Menurutnya, PDIP dan Gerindra memiliki perbedaan ideologi yang cukup tajam, sedangkan Golkar dan PAN tidak memiliki pertalian ideologis sama sekali dengan PDIP.

"Tidak ada pertalian ideologis dengan Gerindra, Pak Jokowi itu kan tidak ada pertalian ideologis yang ada adalah pertalian konfrontatif selama 10 tahun. Tak ada pertalian ideologis dengan Golkar, tak ada pertalian dengan denganpan Pak secara ideologis," kata Masinton.

Masinton juga mengatakan bahwa kemungkinan PDIP menjadi oposisi setelah Pilpres 2024 cukup besar. 

Menurutnya, hal ini tergantung pada siapa yang akan terpilih sebagai presiden.

Masinton menjelaskan bahwa hubungan PDIP dengan Jokowi tidak didasari oleh ideologi yang sama.

PDIP merupakan partai nasionalis, sedangkan Jokowi merupakan sosok yang lebih dekat dengan kalangan pengusaha.

Masinton juga mengatakan bahwa hubungan PDIP dengan partai-partai koalisi lainnya, seperti Gerindra, Golkar, dan PAN, juga tidak didasari oleh ideologi yang sama.

"Kalau sudah Pak Jokowi tidak jadi presiden, itu yang menjadi pertanyaan besar apakah ketika partai yang saat ini selalu menyatakan bagian dari tim Pak Jokowi, Gerindra, Golkar, dan PAN, akan terus sama watonnya dan tegak lurus," kata Masinton.

"Hanya waktu yang bisa menjawab," imbuhnya.

Masinton menjelaskan bahwa PDIP memiliki ideologi yang berbeda dengan partai-partai koalisi pemerintah saat ini, seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). 

Oleh karena itu, menurutnya, jika Jokowi tidak lagi menjadi presiden, maka hubungan PDIP dengan partai-partai tersebut akan berubah.

"Pilpres ini harus kita jaga untuk kepentingan demokrasi dan untuk kedaulatan rakyat," kata Masinton

Masinton mencontohkan, Partai Demokrat dan PDIP yang pernah menjadi koalisi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Setelah SBY tidak lagi menjadi presiden, hubungan kedua partai tersebut menjadi renggang.

"Meskipun kalau dari Presiden sebelumnya sampai sekarang jualannya Demokrat itu masih SBY, masih SBY, sampai sekarang jualan PD Perjuangan masih Megawati, betul-betul sampai sekarang, bahkan PKB for some extent masih," kata Masinton.

Masinton pun memprediksi bahwa hubungan Gerindra, Golkar, dan PAN dengan PDIP akan menjadi lebih rumit setelah Pilpres 2024.

"Saya sulit bagi saya untuk membayangkan, setelah Pak Jokowi jadi tak lagi jadi presiden tanggal 20 Oktober 2024, saya enggak tahu apakah cinta sejati per hari ini yang diberikan oleh Gerindra, Golkar, Pan, dan partai-partai pendukung koalisinya Pak Prabowo dan Gibran itu akan semesra seperti saat ini," ujar Masinton.

Masinton pun menyimpulkan bahwa hubungan PDIP dengan partai koalisi Jokowi saat ini masih bersifat "cinta semusim" yang bisa bubar kapan saja