KPU Dinilai Terlalu Ambisius Gelar Pemilu 2024 Satu Putaran, Berpotensi Kecurangan
- Youtube rhenald kasali
Siap –Pemilu 2024 akan menjadi pemilu serentak terbesar dan tersulit di dunia.
Selain menggelar pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah, pemilu ini juga akan menggunakan sistem baru, yaitu sistem pemungutan suara elektronik (e-voting).
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nurhayati menilai bahwa KPU terlalu ambisius dengan menggelar pemilu serentak hanya dalam satu putaran. Menurut Neni, hal ini berpotensi menimbulkan kecurangan.
"Pemilu serentak satu putaran itu sangat berisiko karena ada banyak potensi kecurangan," kata Neni dalam kanal YouTube Rhenald Kasali, Senin 15 januari 2024
Neni menjelaskan, kecurangan dapat terjadi di berbagai tahapan pemilu, mulai dari pendaftaran pemilih, penetapan peserta pemilu, kampanye, hingga pemungutan dan penghitungan suara.
"Kalau pemilu digelar dalam dua putaran, maka kecurangan yang terjadi di putaran pertama bisa diminimalisir di putaran kedua," kata Neni.
Selain itu, Neni juga menyoroti integritas penyelenggara pemilu, yang dinilainya masih perlu ditingkatkan.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari.
"Hasyim Asy'ari sudah diberikan peringatan keras terakhir oleh DKPP. Ini menunjukkan bahwa integritas penyelenggara pemilu masih perlu ditingkatkan," kata Neni.
Neni berharap, KPU dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam Pemilu 2024.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperpanjang masa kampanye.
"Masa kampanye yang terlalu singkat akan membuat peserta pemilu terburu-buru dan berpotensi melakukan kecurangan," kata Neni.
Neni berpendapat bahwa dalam kasus pembagian uang oleh ustaz dan aparat kepala desa, KPU menyatakan bahwa hal tersebut tidak melanggar aturan.
Namun, Bawaslu menyatakan bahwa hal tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Desa.
"Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan tafsir yang cukup serius di tubuh penyelenggara pemilu," ujar Neni.
"Hal ini tentu mengkhawatirkan karena bisa menjadi celah bagi para oknum untuk melakukan kecurangan."
Neni juga menilai bahwa KPU tidak berani menindak tegas para pelanggar pemilu.
Misalnya, dalam kasus pembagian uang oleh ustaz, KPU hanya memberikan teguran kepada ustaz tersebut.
"Hal ini tentu tidak memberikan efek jera bagi para pelaku," ujar Neni.
"Sehingga, potensi kecurangan pemilu di masa mendatang masih akan tinggi."
Neni khawatir bahwa jika kecurangan pemilu tidak ditanggulangi, maka hal tersebut akan mengancam legitimasi Pemilu 2024.
"Pemilu yang tidak jujur dan adil akan memunculkan keraguan di masyarakat terhadap hasil pemilu," ujar Neni.
"Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia."
Neni berharap agar KPU dan Bawaslu dapat bekerja sama dengan baik dalam mencegah dan menindak tegas kecurangan pemilu.