Mengukur Untung Buntung Peredaran VCD Porno Era 2000-an

Ilustrasi seks.
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Sabtu, 30 November 2019, sekira pukul 16.00 WIB, dari kejauhan Sanusi Bajuri (bukan nama sebenarnya) tampak santai duduk di bangku kayu yang berada di halaman rumahnya, Depok, Jawa Barat.

Terpopuler: 7 Artis Film Dewasa Tobat, hingga Saktinya Panglima Pajaji Dayak

Saat kami mulai mendekat, ia berdiri seraya melempar senyum. "Sini, masuk," kata Bajuri sambil menyapa.

Kami pun duduk di bangku kayu sebelahnya.

7 Artis Cantik Ini Tobat dari Film Dewasa, Ada yang Masuk Islam

Sore itu tidak seperti biasanya. Bajuri sedikit santai di rumahnya. Tidak pergi ke kios untuk menjajakan dagangannya.

Sementara, 24 tahun silam, Bajuri agak susah menikmati waktu santai di rumah karena sibuk di toko meladeni pembeli.

Eksplore Lebih Dalam: Server Indonesia dan Peran Kunci Mereka dalam Era Digital

Bajuri kemudian bercerita tentang masa-masa kejayaannya, ketika ia menjadi penjual termasyhur Video Compact Disc (VCD) lapakan, awal tahun 2000.

Ia menggelar barang dagangannya di kios yang ia sewa. Tak terlalu jauh dari rumahnya, sekitar 2 kilometer saja. "Sekarang juga masih jualan, tapi tidak seperti dulu," katanya.

Pada tahun tersebut, ia berjualan tidak sampai seminggu penuh. Hanya empat hari saja: Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu.

"Buka jam 9 pagi, tutup jam 5 sore," ujarnya.

Sedangkan sekarang, kata Bajuri, bisa buka setiap hari dan baru tutup pada malamnya.

Ia mengaku, pada tahun 2000 kepingan VCD banyak dicari masyarakat.

Tak hanya VCD dalam format lagu, format film pun laku di pasaran. Apalagi ketika menjual film berbau porno.

"Kalau penjualan pada tahun itu, jangankan film porno. Film VCD biasa juga laku," katanya.

Arkian, Bajuri pun memanfaatkan momen tersebut.

Film-film porno, masih kata Bajuri, sempat menjadi perburuan massal. Pembelinya berasal dari pelbagai pelosok daerah di Depok.

"Ada yang pernah ngaku dari Parung," katanya.

Dari mulut ke mulut, lapak Bajuri perlahan mulai dikenal masyarakat.

Namun, di balik 'kenakalannya' menjual film dewasa, semua itu Bajuri lakukan atas dasar alasan sederhana: demi memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.

"Semua kembali lagi, urusan perut," tandasnya.

Potensi Jual VCD Porn

Demi menjawab tantangan pasar, Bajuri mulai menjual beberapa keping film dewasa secara sembunyi-sembunyi.

Adapun film porno yang pertama kali dijual adalah video produksi Amerika.

Tapi, kata Bajuri, sekira tahun 2003 pamor film Amerika mulai redup.

"Kalau saya tanya, jawabnya bosan," kata Bajuri.

Para pembeli, kata Bajuri, kemudian beralih mencari film dewasa Asia, yakni dari China.

"Film dewasanya dibaluti cerita pendekar atau kerajaan," kata Bajuri disusul gelak tawa saat mengingat momen tersebut.

Berdasarkan pengamatan Bajuri, sebagian pelanggannya selalu mencari film dewasa nan unik.

Tak ayal konten film Amerika mulai tergerus film yang memiliki cerita berbeda, seperti film buatan China.

Namun, hal tersebut juga tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 2006, ia mengaku peminat film porno China berkurang. Permintaan pelanggan justru film dewasa dari Jepang.

Terhitung sejak tahun 2006, koleksi jualan film dewasa Bajuri kian bervariasi. Konsumen baru mulai bertambah.

"Penjualan bisa mencapai 50 sampai 100 keping dalam sehari. Kalau awal, paling banyak 30-an," katanya.

Film yang paling sering terjual, tidak lain dan tak bukan adalah film porno Jepang. Pada tahun itu, istilah JAV (Japanese Adult Video) belum familier.

"Orang-orang tahunya bokep Jepang," kata Bajuri.

Untuk mendapatkan film tersebut, Bajuri mengaku membeli dari salah satu kios yang berada di Glodok, Jakarta Barat.

Namun, demi menghemat anggaran Bajuri tidak membeli kepingan film. Ia hanya membeli beberapa file film dewasa.

"Nanti saya beli kepingan VCD polos dan copy. Nah, film hasil duplikat itu saya jual. Pemain (pembeli) juga banyak. Udah gitu, saling tukar info kalau ada edisi baru," ujarnya.

Meski terbilang laris, Bajuri tak sembarang menjual film-film tersebut. Pembeli yang baru pertama kali datang, tidak serta merta diberikan 'akses' mudah begitu saja. "Ada kode etik. Ha ha ha," katanya.

"Jadi, kalau saya nih, tukang VCD, di lapak saya cuma ada VCD film biasa atau VCD lagu. Cuma yang udah langganan, biasanya langsung tanya; 'Bang, ada film begituan, gak?' Penjualan benar-benar terselubung. Terkadang saya juga yang nawarin. Tapi saya lihat-lihat dulu gelagatnya. Kalau orang yang nyari film porno, tingkah lakunya pasti ketahuan. Gelagatnya mah kelihatan," kenangnya.

Adapun harga film dewasa yang pernah Bajuri jual mulai dari harga Rp 7 ribu sampai Rp 25 ribu per keping. Dengan rata-rata per hari mencapai pembelian 50 sampai 100 keping VCD.

"Lumayan, kan?" kelakarnya.

Eksistensi VCD Film Porno

Bagi Bajuri, bisa menjual film dewasa dengan jumlah besar merupakan kepuasan tersendiri.

Namun, lain halnya dengan Suparno (bukan nama sebenarnya), salah seorang penikmat film dewasa. Ia justru bisa merasakan kepuasaan tatkala mendapatkan film porno baru.

Suparno mengaku, mulai menyukai film 18+ sejak masih duduk di bangku SMP kelas III, pada tahun 2000.

Ia bahkan, bersama beberapa kawan sebaya setelah pulang sekolah selalu singgah ke pelapak VCD. Salah satunya, lapak Bajuri yang berada di sekitar Jalan Nusantara, Depok.

"Sebelum suka nonton, dari kelas I sampai kelas II saya suka baca bukunya Enny Arrow sama lihat foto-foto perempuan telanjang. Lama-lama bosan. Pengen lihat videonya. Saban pulang sekolah, saya cari ke pelapak VCD. Tapi gak ada yang kasih, cuma bang Bajuri. Dia jualan dekat sekolahan saya. Jadi, tahu muka," katanya.

Suparno bercerita, setelah mendapatkan beberapa keping VCD porno, ia bersama kawan-kawannya tidak langsung menonton.

Mereka berembuk. Memantau rumah masing-masing.

"Kalau misal rumah si A kosong. Nah, nonton di rumahnya. Kami dulu berempat. Ke mana-mana selalu bersama, termasuk nyari film dewasa," kenangnya.

Tak hanya itu, bahkan Suparno sempat pergi ke kawasan Glodok. Namun, tidak mendapatkan apa-apa.

Kegemarannya menonton film dewasa berlanjut ketika duduk di bangku SMA: bersama tiga kawan SMP-nya.

Metodenya sama. Memantau dulu rumah, sebelum akhirnya memutuskan menonton di rumah siapa.

Tak hanya menonton, bahkan Suparno pernah mengalami sebuah kejadian memalukan. Ketika menonton film dewasa China, salah seorang kawannya melakukan tindakan tidak wajar.

"Saya lihatin si B lagi asyik ngelus-ngelus anunya. Dari awal film. Saya diemin aja sambil menahan tawa. Nah, pas perempuan mendesah kencang, dia seperti menggelinjang. Saya teriaki sambil ketawa. Yang lainnya ikut ketawa," ujarnya.

Kegemarannya menonton film dewasa berlanjut hingga ia menjadi mahasiswa. Jaringan semakin luas. Suparno tidak lagi berlangganan ke Bajuri.

Ia bersama kawan kuliahnya mendatangi pelapak di daerah Jakarta.

"Sampai nemu di daerah Gajah Mada, Jakarta. Lebih banyak dan terbuka. Lapaknya penuh film porno. Harga lebih murah. Saya mulai menyukai film dewasa Jepang. Alur ceritanya lebih menantang, pada saat itu," kenangnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, era digital mulai menggerus eksistensi film dewasa lapakan. Suparno sendiri mengaku mulai berhenti membeli VCD film dewasa sejak tahun 2007.

Ia mengaku lebih sering mengunduh film yang berada pada salah satu forum ternama di Indonesia.

"Ada nama forum terkenal. Selain download, saya juga suka baca cerita stensil. Jadi, lebih eksplor di forum itu," kelakarnya.

Seturut dengan Suparno, Bajuri 'sang pelapak masyhur' pun mengaku terkena dampak besar dari era digital.

Pelanggannya mulai hilang. Lapak VCD-nya tidak lagi seramai dulu. Bahkan tak sedikit para pelapak yang bertumbangan.

'Sekitar tahun 2008, banyak pelapak yang tutup. Penjualan menurun drastis. Orang-orang udah pada bisa download di warnet. Gak perlu beli ke kami ataupun nyari di Kota. Nasib kami udah gak bisa berbisnis begitu di era digital. Orang tinggal akses internet,' tandasnya.