Ini Dalih Kepsek SMKN 3 Depok soal Polemik Tahan Ijazah 41 Alumni
- Istimewa
Siap – Kepala Sekolah (Kepsek) SMKN 3 Depok, Samsuri akhirnya angkat bicara soal tudingan yang menyebut pihaknya telah menahan ijazah alumni.
"Istilah kata nahan ijazah tidak ada. Hanya karena memang orang tua itu sebenarnya belum pernah yang namanya datang ke sekolah untuk ngambil ijazah," katanya saat dikonfirmasi pada Kamis, 23 Januari 2025.
Namun ia mengakui, ada beberapa orang tua yang ingin mengambil ijazah anaknya dan telah difasilitasi oleh seseorang yang disebut LSM.
"Ya selama ini enggak perlu pakai itu juga kalau datang ke sekolah sendiri udah pasti dikasih ijazah mah, toh hak dia gitu ya," tuturnya.
"Jadi tidak ada yang namanya istilah sekolah menahan ijazah, itu enggak ada," sambungnya.
Menurut Samsuri, mereka belum mengambil ijazah di SMKN 3 Depok karena kewajibannya belum terpenuhi.
"Hanya kalau memang orang tua merasa masih memiliki kewajiban, terus belum ada, akhirnya kan enggak datang ke sekolah untuk mengambil ijazah."
Samsuri membantah jika itu disebut sebagai tunggakan.
"Itu tidak betul, bukan tunggakan. Jadikan mereka kan ada kewajiban ya, selama dia bersekolah itu kan ada kewajiban," ujarnya.
Samsuri juga berkelit, kewajiban tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan pihak Komite SMKN 3 Depok.
"Ada istilahnya sesuai dengan kesepakatan waktu rapat komite ya. Itu yang menentukan bukan sekolah, komite," jelas Samsuri.
"Misalnya ada LSP, ada PKL. Itu kan memang harus ada pembiayaan gitu kan, nah itu yang menentukan bukan sekolah. Rapat itu yang mengadakan komite," dalihnya.
Lebih lanjut Samsuri tak menampik, jumlah alumni yang belum ambil ijazah cukup banyak.
Namun ia tak menjelaskan secara detail, termasuk soal kewajiban yang dimaksud.
Pungli Berkedok Sumbangan
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 41 alumni yang ijazahnya sempat ditahan di Sekolah Menengah Kejuruan negeri (SMKN) tersebut.
Salah satu orang tua murid mengaku baru bisa mengambil ijazah-nya di SMKN 3 Depok setelah kasus ini viral di media sosial.
Ia mengaku tadinya tidak bisa mengambil ijazah sang anak lantaran dianggap punya tunggakan alias utang.
"Iya karena aku belum punya uang, ada tunggakan kalau nggak salah Rp2,8 juta," ujarnya saat ditemui di lokasi kejadian pada Kamis, 23 Januari 2025.
Orang tua alumni siswa SMKN 3 Depok itu menyebut, utang tersebut disebut sebagai dana sumbangan.
"Sebenarnya sih nggak ada nominal buat ke SPP ya, cuma waktu pas pertama itu masuk SMK ini memang obrolannya itu sumbangan," ujarnya.
Orang tua alumni lainnya mengaku ada yang nunggak hingga Rp 8,4 juta.
"Itu (dana) sudah termasuk PKL, wisuda, pokoknya seragam sudah semua segitu. Cuma emang kaanya bisa dicicil," ujar saksi yang mengaku berinisial L.
Tak jauh berbeda dengan L, orang tua murid lainnya bernama Roni juga mengaku memiliki utang sebesar Rp6 juta.
Hal itulah yang membuat ijazah sang anak sempat ditahan.
"Ya namanya orang tua banyak pengeluaran kan, ada anak juga banyak yang sekolah gitu kan, apalagi anaknya banyak, saya baru bayar tuh Rp100 ribu. Itu yang uang sumbangan itu," ujarnya.
Roni sempat terkejut ketika hendak ambil ijazah sang anak ternyata tunggakannya sampai Rp6 juta.
"Iya. Pas mau ngambil ditotal total semuanya Rp6 juta. Kalau saya kan belum nyicil sama sekali, saya baru bayar Rp100 ribu dari kelas 1," ucap dia.
"Akhirnya pas mau ngambil (ijazah) Rp6 juta katanya. Waduh nggak bisa saya kalau Rp6 juta, yang Rp2 juta saja saya nggak bisa," sambung Roni.
Potongan PIP
Di tempat yang sama, salah seorang alumni berinisial J, mengaku kerap mendapat potongan ketika mendapat dana PIP.
"Duitnya pas tahun terakhir, kelas 3 ya. Kelas 3 itu kan nggak dapat nggak dapat cuma ada beberapa yang dapat, cuma pas kelas 2 kan dapat, nah pas dapat itu disuruh dimintain pihak sekolah ya, disuruh bayar ke pihak sekolah jadi buat bayaran gedung katanya uang PIP itu," jelasnya.
J mengaku, dirinya mendapat dana PIP senilai Rp500 ribu dari total Rp1 juta.
"Katanya Rp1 juta, jadi setengah itu buat bayar sekolah, Rp500 ribu. (Dapatnya) setahun sekali," kata dia.
Menurut J, hal serupa juga dialami temannya yang lain.
"Iya ada beberapa anak yang dibayarin Rp500 ribunya. Itu di chat sama sekolah suruh setor ke sekolah Rp500 ribu itu. Ada beberapa teman sekelas yang setor ke sekolah," katanya.