Pengamat Soroti Kebijakan Kementerian LHK tentang Perlink dan SLO

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Sumber :
  • Istimewa

SiapPengamat lingkungan Hengki Seprihadi menyoroti kebijakan baru sebagai turunan UU Cipta Kerja untuk kemudahan berusaha. 

Kisah Hilirisasi Nikel Jokowi: Mengapa Amerika Serikat dan Uni Eropa Bersikeras Menentang

Menurutnya, aturan tersebut seharusnya memberikan kepastian waktu untuk mendapatkan Persetujuan Lingkungan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) dari Kementerian LHK, ternyata justru membuat pengurusan menjadi lebih lama dan tidak ada kepastian. 

Terbukti, saat ini ada ribuan perusahaan antre untuk mendapatkan Persetujuan Lingkungan (Perlink) dan Sertifikat Layak Operasi (SLO) di Kementerian LHK.

Rocky Gerung Ungkap Jokowi Lupa Daratan, Uang Rakyat Terbuang untuk Sogokan Kemenangan Gibran

"Pada aturan lama, namanya Izin hanya butuh satu tahap, cukup satu direktorat teknis bagi pengusaha untuk memperoleh izin sehingga bisa memprediksi waktu izinnya terbit, biasanya di bawah tiga bulan. Tetapi sekarang setelah aturan baru diterapkan, ada dua tahap yang harus dilalui oleh pengusaha. Istilah sebutannya juga berubah dari Izin menjadi persetujuan, padahal intinya adalah izin atau permit juga," kata Sekretaris Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Hengki Seprihadi seperti dikutip di Jakarta, Ahad, 15 September 2024.

Ia mengatakan, saat ini pengusaha harus terlebih dahulu memperoleh Persetujuan Teknis (Pertek), baru bisa lanjut ke proses untuk mendapatkan Persetujuan Lingkungan (Perlink), untuk kemudian baru mendapatkan SLO.

Revolusi Fakta Sensasional! Rocky Gerung Bongkar Bakso Busuk UU Cipta Kerja Jokowi

"Berdasarkan keluhan pengusaha, setidaknya membutuhkan waktu hampir setahun untuk memperoleh Persetujuan Lingkungan berupa SLO dari Kementerian LHK," katanya. 

Sebab, kata Hengki, untuk  mendapatkan Pertek yang dikelola oleh Direktorat Teknis seperti misalnya Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.

"Kemudian pengusaha yang telah mendapatkan Pertek, baru bisa lanjut ke proses untuk mendapatkan Perlink dari Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (PDLUK) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian LHK, di sini saja butuh waktu sekitar enam bulan paling cepat," katanya.

Jadi, lanjut Hengki, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dan PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Resiko serta Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha dan Persetujuan Pemerintah di Bidang Pengelolaan Limbah B3, ternyata malah membuat proses semakin panjang dan waktu semakin lama bagi pengusaha untuk memperoleh Perlink dan SLO agar industrinya bisa berjalan.

"Harus ada political will dari Menteri LHK agar proses perizinan di KLHK bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Harus ada transparansi sistem online terpadu yang rinci agar perusahaan dapat mengetahui dokumennya menyangkut di mana, oleh siapa dan apa saja bagian dokumen yang harus diperbaiki. Saat ini, perusahaan melalui sistem online yang ada hanya tahu bahwa dokumen ada di direktorat teknis (untuk Pertek) ataupun di Direktorat PDLUK (untuk PerLing) tanpa tahu dokumen sudah sampai di meja siapa, berapa lama evaluasinya, dan kapan akan mendapatkan Persetujuan Lingkungan (PerLing)," katanya. 

Apalagi, lanjut Hengki, dokumen permohonan berbagai perusahaan makin lama kian menumpuk tanpa ada kepastian waktu, ditambah lagi staf pemeriksa dokumen jumlahnya sangat terbatas maka makin buruk citra kinerja Kementerian LHK.

"Sebaiknya, jika KLHK tidak siap dengan sistem kerja yang transparan dan akuntable, lebih baik kembali ke regulasi lama yang lebih pasti jangka waktu proses perijinannya karena hanya satu tahap, cukup direktorat teknis saja," katanya. 

Apalagi, imbuh Hengki, dengan regulasi baru yang berbasis risiko, hampir semua pengajuan amdal harus ke KLHK yang tadinya cukup di provinsi atau daerah saja, sehingga menambah pekerjaan staf PDLUK, sementara jumlah staf tidak bertambah dan tidak ada evaluasi kinerja PDLUK KLHK, sehingga proses mendapatkan Persetujuan Lingkungan di PDLUK sangat lama.

"Jika KLHK tetap ingin menggunakan regulasi baru, maka segera tetapkan batas waktu berapa lama setelah dokumen diterima lengkap terbit PerTek dan PerLing sehingga pengusaha mempunyai kepastian waktu," katanya.

Dikatakan Hengki, jika ada dokumen yang telah diajukan dianggap perlu diperbaiki juga harus ada batas waktu bagi KLHK untuk memberitahukannya ke perusahaan.

"Misalnya maksimal 14 hari, sehingga perusahaan bisa cepat memperbaikinya dan mengajukan kembali dokumennya supaya dapat diproses lebih lanjut. Tanpa ada batas waktu yang ditetapkan oleh KLHK untuk respon dokumen dan waktu proses dokumen maka pengusaha akan diliputi ketidakpastian berusaha," katanya. 

Sehingga, kata Hengki, bagaimana bisa pertumbuhan ekonomi bisa terjadi jika dalam tahap persetujuan lingkungan saja justru tidak ada upaya serius Pemerintah Jokowi untuk memperbaikinya.