Catatan Hitam STIP: Bahtera Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Karam Akibat Salah Nakhoda
- Istimewa
Siap – Ketua Umum Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indpnesia (IKKPNI) dan Purkumpulan Pekerja Pelaut Indonesia (P3I), Capt Dwiyono kembali angkat bicara soal perpeloncoan maut yang terjadi di STIP.
Dalam keterangan tertulisnya, Capten atau Capt Dwiyono menyebut, bahwa kehormatan marwah institusi lembaga pendidikan tinggi dimanapun, sepanjang zaman harus dijaga dan diupayakan jangan sampai ternodai.
Karena secara akademis sekolah tinggi adalah sebagai tolok ukur garda terdepan untuk mencetak para cendekia anak bangsa setingkat tenaga ahli, yang akan mengukir kebudayaan menjadi peradaban sesuai penguasaan bidang ilmunya," kata dia pada Selasa, 14 Mei 2024.
Sekolah Tinggi IImu Pelayaran (STIP), kata Capt Dwiyono, adalah bagian dari lembaga pendidikan tinggi di bidang pelayaran niaga yang diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang profesional dan andal.
Mereka dituntut untuk memenuhi standar internasional serta mampu bersaing dalam pasar global.
Karena itulah, menurutnya peserta didik dibekali kemampuan terampil, keahlian, dan disiplin sesuai dengan standar nasional maupun internasional.
Menyadari betapa besar amanat moral etika yang diemban dalam melaksanakan Pendidikan tinggi, sebagai acuan maka disusun statuta STIP yang mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pendidikan tinggi.
Yakni, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi telah menetapkan demikian.
Capt Dwiyono menjelaskan, STIP berada dibawah naungan Badan Diklat Perhubungan Republik Indonesia.
Berdiri sejak tahun 1953, dulunya bernama Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) dan diresmikan oleh Presiden Pertama RI Ir. Soekarno pada 27 Februari 1957.
Saat itu juga menjadi akademi pelayaran pertama di Indonesia, dimana peradaban bidang ilmu maritim niaga bermula dalam tatanan tingkat pendikan tinggi.
Lokasi kampus berada di Jalan Gunung Sahari, Mangga Dua, Ancol, Jakarta Utara.
Kemudian, pada tahun 1962 AIP menyelenggarakan kerjasama dengan Akademi Pelayaran Amerika yaitu Kings Point untuk kelas khusus.
"Sejak didirikan, AIP telah memilki reputasi yang baik sebagai Pusat pendidikan Pelayaran sehingga pada tahun 1974 sampai dengan 1984 AIP berhasil menyelenggarakan pertukaran pelajar dengan Tanzania, Malaysia dan Bangladesh hingga terakhir pada tahun 1985,” terang Dwiyono.
Dengan kata lain bahwa peradaban sistim pendidikan ilmu pelayaran niaga sudah diakui dunia internasional.
Menurut Dwiyono, tidak akan negara-negara lain menitipkan anak bangsanya untuk dididik di Indonesia bila memahami bahwa institusi yang dituju tidak memiliki mutu di atas rata-rata.
"Demikianlah kedigdayaan peradaban pendidikan tinggi kader-kader calon perwira pelayaran niaga sempat memuncak di dunia internasional."
Capt Dwiyono mengatakan, salah satu yang mendukung terbentuknya mutu hasil didikan dengan moral integritas selama kedigdayaan itu terjaga adalah para taruna-taruna dididik oleh instruktur-instruktur militer dari kesatuam Marinir yang terkenal memiliki loyalitas dan integritas dalam tugas abdi negara.
Darilah itu era AIP/PLAP disebut pendidikan semi-militer dengan doktrin memiliki karakter disiplin matra laut yang siap bertugas di atas kapal.
"Entah sejak kapan kebijakan tidak dilibatkannya instruktur-instruktur Marinir di kampus STIP, sehingga kampus itu tidak bisa lagi disebut sebagai pendidikan semi-militer," katanya.
Capt dwiyono menilai, kedigdayaan bahtera STIP sebagai candra dimuka peradaban pendidikan bahari sekarang sudah karam, tergerus ditaraf internasional maupun taraf nasional.
"Sebaliknya bukan berubah berkembang baik positif justru semakin terpuruk memburuk," katanya.
Menurutnya, warisan sang proklamator sejak 1957 akan kedigdayaan tatanan warisan peradaban pendidikan perwira pelayaran niaga di negeri bahari ini justru dalam statistik titik balik nadir mutu terendah.
"Karena dinodai oleh tangan sang nakhoda yang tidak faham arah haluan tuntutan pendidikan tinggi maritim niaga."
"Rekam jejak demikian, karena terjadi berulang insiden-insiden fatality (korban nyawa) dari taruna-taruna anak didik secara beruntun," ujarnya.
Mereka yang jadi korban di antaranya:
1. Agung Bastian Gultom dan Jegos (2 korban ditahun 2008)
2. Dimas Dikita Handoko (korban ditahun 2014).
3. Amirulloh Adityas Putra (korban ditahun 2017).
4. Putu Satria Ananta (korban ditahun 2024)
Dwiyono berpendapat, ini tidak sesederhana yang diberitakan banyak media, bahwa mereka hanya sebatas korban pemukulan akibat dari ada yang pemukul dan yang dipukul.
"Coba kita amati secara seksama ilustrasi aliran air sungai. Sungai mengalir dari hulu dengan air jernih mengarah ke hilir. Bila terjadi di hilir ternyata warna airnya keruh berpolutan, hanya ada dua sumber polutan kemungkinan penyebabnya."
Yakni, kata Dwiyono, alam yang kategorinya adalah ulah siklus alam (force majeure/act of God). Lalu, manusia perekayasa yang pongah merasa tahu semua. (human error/act of human being).
Bak alur sungai dengan alur proses pendidikan, ada hulu sebagai pengkonsep (warna) kebijakan dan hilir sbg pelaksana (warna) kebijakan.
Investigasi dan evaluasi terhadap rentetan penyebab polutan akibat human error policy makers berakibat rantai mis-management system education inilah yang harus dengan nyali kejujuran dilakukan oleh negara, dipimpin oleh seorang pemimpin yang waras.
"Jangan dibiarkan penggiringan dan pembenaran tetap terjadi, bahwa sang nakhoda di atas bahtera yang tidak kompeten membuat rekayasa laporan dengan otoritasnya dan menjadi konsumsi publik."
Ia menegaskan, semua kegiatan di atas bumi, selalu harus berlandaskan azas hukum, dan tak luput kegiatan pendidikan.
"Ada istilah ignorantia iuris nocet, dimana arti sederhananya abai dan ketidaktahuan pada hukum akan mencelakakan," ujarnya.
Dwiyono menambahkan, sebuah pepatah bahasa latin yang lazim terdengar pada ruang persidangan.
Dari maknanya terasa pula cocok mengawali adanya dugaan akan sikap sembrono dari rantai pengelola system pendidikan kampus untuk memahami dan taat statuta Pendidikan tinggi.
Kesimpulan dan Saran
Sebatas pertimbangan-pertimbangan diatas, maka secara ringkas dapat ditarik kesimpulan dan sumbang saran dari para praktisi perwira pelayaran niaga.
"Kami lintas alumni yang tergabung dalam organisasi profesi tenaga ahli IKPPNI dan komunitas Pelaut Niaga mewakili serikat pekerja Perkumpulan Pekerja Pelaut Indonesia (P3I) sangat berharap agar negara hadir secara serius untuk menertibkan hingga akar sumber masalah."
Yakni, oknum pejabat tidak berkompeten yang masih berkeliaran sampai saat ini tanpa tanggung jawab moral pendidikan tingkat tinggi yang menyimpang dari statuta STIP, dengan dampak yang bisa terjadi mengancam kehormatan STIP sebagai candra dimuka pencetak human element standar IMO secara umum.
"Maka perlunya sesegera mungkin evaluasi holistic dan komprehensif terhadap jajaran Kemenhub cq BPSDMP terkait pejabat-pejabat tinggi yang tidak kompeten linier dalam bidang pendidikan tinggi pelayaran niaga."
Kemudian, sense of belonging terhadap marwah kampus akan lebih kental bila bahtera STIP dinakhodai figur lulusan kampus itu sendiri.
Maka seleksi lulusan terbaik dengan rekam jejak integritas yang teruji untuk menakhoai kampus STIP.
"Berikan pemahaman isi statuta STIP sejak dini kepada pata taruna didik, dimana mereka adalah bagian dari sivitas akademik yang tidak bisa dipisahkan."
Selain itu, ia juga menseak agar diterapkan kode etik profesi perwira pelayaran niaga sejak dini di kampus-kampus sekolah tinggi pelayaran.
"Adalah sesuatu yang absurd, mencetak tenaga ahli dalam biang ilmu tertentu tanpa membekali kode etik profesi," katanya.
Selanjutnya, masih kata Dwiyono, jangan lagi menempatkan SDM yang berlatar belakang ilmu yang tidak jelas dan tidak kompeten untuk membuat kebijakan dalam system pendidikan tinggi pelayaran niaga.
"Maslahat pendidikan adalah bukan ruang trial and error. Kembalikan instruktur-instruktur pendamping dalam kampus sesuai kepentingan pembentukan karakter matra transportasi laut."