Mengenal Tokoh Pendidikan Muhammadiyah asal Sumenep
- Istimewa
Siap – Bagi warga Muhammadiyah, Muhammad Saleh Werdisastro bukan hanya sekadar nama. Pengorbanannya ketika hidup, dijawab dengan keabadian dan keharuman sosoknya hingga kini.
Jasadnya yang penuh dengan perjuangan itu pun dimakamkan persis berdampingan dengan pendiri organisasi Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Muhammad Saleh Werdisastro lahir pada 15 Februari 1908 di Sumenep, Madura, Jawa Timur, dari pasangan R Musaid Werdisastro dan R Ayu Aminatuszahra.
Ayahnya merupakan seorang budayawan Madura yang berhasil menulis buku Babad Songenep (Sejarah Sumenep).
Tak banyak catatan sejarah yang menjelaskan bagaimana masa kecil Muhammad Saleh. Namun, ketika berusia 22 tahun, 15 Mei 1930, ia menyelesaikan pendidikannya di Hogere Kweek School (HKS) di Purworejo dan Malang.
Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi guru di sekolah dasar milik pemerintahan kolonial Belanda, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang, Jawa Tengah.
Selama menjadi guru di sekolah bergengsi tersebut, justru tebersit dalam pikiran Muhammad Saleh untuk kembali ke Sumenep.
Setahun kemudian (1931), ia memutuskan pulang dan membesarkan tanah kelahirannya tersebut. Dengan segala permasalahan serta kekurangan yang terjadi pada saat itu, ia memberanikan diri mendirikan sekolah setaraf HIS untuk anak-anak dari kalangan bawah di Sumenep.
Pada 31 Agustus 1931, sekolah Partikelir Hollandsch-Inlandsche School (PHIS) bernama Sumekar Pangabru pun diresmikan.
Pendidikan mulai dirasakan rakyat kecil. Tak hanya ilmu pengetahuan, rasa kebangsaan pun mulai tumbuh dalam setiap sanubari para murid. Bahkan tak sedikit dari murid yang enggan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus.
Akibatnya, Muhammad Saleh mendapat teguran dari Residen Madura saat itu.
Nyali tak menciut, justru keberanian mencuat. Muhammad Saleh mengambil keputusan hebat dengan menghapus mata pelajaran menyanyi di sekolah PHIS.
Lebarkan Sayap Muhammadiyah
Pada 1 September 1941, setelah PHIS Sumekar Pangabru besar, Muhammad Saleh Werdisastro memutuskan hijrah ke Yogyakarta untuk membesarkan organisasi Muhammadiyah.
Demi mencukupi kebutuhan hidup, ia menjadi guru di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah menengah pertama) yang disokong oleh Gesubsidieerde Inheemse (subsidi pemerintah pribumi atau Kesultanan Yogyakarta).
Pada akhirnya tentara Jepang menduduki Indonesia, pada 31 Agustus 1943, Muhammad Saleh Werdisastro mengawali karier di dunia militer dengan jabatan Daidanco (komandan batalyon) Dai Dang II Yogyakarta, Bantul, Yogyakarta.
Namun, setelah Indonesia merdeka Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan tokoh masyarakat memilih Muhammad Saleh Werdisastro sebagai Komite Nasional Indonesia (KNI, sekarang DPRD) Yogyakarta.
Kemudian, pada 1 Februari 1950, Muhammad Saleh diangkat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil Wali Kota Yogyakarta, dan juga aktif di Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat di Yogyakarta.
Dengan jabatan yang strategis itu, ia pun kemudian menginisiasi pendirian sebuah universitas ternama di Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.
Setahun kemudian, persisnya 1 Agustus 1951, Muhammad Saleh dipilih menjadi Wali Kota Raja Kasunanan Surakarta (Solo) sampai 17 Februari 1958.
Seperti halnya di Yogyakarta, dengan kuasa yang dipegang, Muhammad Saleh juga memelopori berdirinya Universitas Raja Kasunanan Surakarta dan aktif sebagai pengurus IKIP Muhammadiyah Surakarta.
Tonton Video: Penipu Kena Mental, Modus Penipuan Telepon Dikerjain Balik
Kariernya di dunia pemerintahan semakin cemerlang. Pada 29 Februari 1959, Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi Residen Kedu berkedudukan di Magelang. Untuk ketiga kalinya, ia kembali mendirikan sebuah perguruan tinggi yang bernama Universitas Magelang.
Pada tahun 1964, ia memutuskan untuk mengakhiri masa baktinya sebagai pamong praja. Sayangnya, bersamaan dengan itu, ia sempat jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang.
Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro menderita sakit kanker lever dan usianya diperkirakan tak lebih dari setahun.
Hingga pada akhirnya, pada tahun 1966, di usianya yang ke-58 tokoh besar Muhammadiyah itu wafat. Keranda Muhammad Saleh ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah.
Meski telah tiada, perjuangan serta pengabdiannya justru tak akan pernah padam. Pemikiran serta perjuangannya yang berbekas, menyentuh semua masyarakat Yogyakarta, tak hanya warga Muhammadiyah.
Semangatnya dalam membebaskan serta membangun pendidikan bagi rakyat akan terus dikenang.