Menohok, Ini Penjelasan Prof Suparji soal Penetapan Tersangka Firli Bahuri

Prof Suparji soal sidang praperadilan eks Ketua KPK Firli Bahuri
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Guru Besar Universitas Al Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad ikut angka suara soal kasus yang menjerat mantan Ketua KPK, Firli Bahuri atas dugaan pemerasan terhadap eks Mentan Syahrul Yasin Limpo alias SYL

Breaking News: Saksi Ahli Sebut Pegi Setiawan Korban Salah Tangkap!

Sebagaimana diketahui, Firli Bahuri yang tak terima dengan penetapan tersangka atas dirinya, kemudian melayangkan praperadilan dengan pihak tergugat adalah Polda Metro Jaya. 

Sidang praperadilan telah berlangsung beberapa kali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

14 Hasil Psikologi Pegi Setiawan dengan IQ 78, Keterangan Terakhir Bikin Syok!

Kasus ini telah menyita perhatian banyak pihak. Kekinian yang ikut angkat suara adalah Guru Besar Universitas Al Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad.

Ia diminta sebagai saksi ahli dari kubu Firli Bahuri, dalam sidang praperadilan yang digelar PN Jaksel belum lama ini. 

Pilu, Ibu Kandung Pegi Setiawan Minta Tolong Jokowi Usai Sidang Ditunda, Kami Orang Miskin

Dalam persidangan terungkap, bahwa termohon menggunakan 4 alat bukti dalam menetapkan tersangka Firli Bahuri, yaitu saksi, surat, ahli dan petunjuk.

Namun menurut pandangan Prof Suparji, bahwa alat bukti tersebut tidak cukup hanya memenuhi unsur kuantitatif, tetapi juga harus memenuhi unsur kualitatif dan kausalitas. 

Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Suparji kemudian, menegaskan secara prosedural dalam menetapkan tersangka menetapkan Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor, harus ada saksi dan surat yang menunjukkan dan membuktikan adanya mens rea dan actus rea pemenuhan unsur-unsur pasal tersebut.

"Dalam hal tindak pidana pemerasan, secara prosedural penetapan tersangka harus didukung adanya saksi dan surat yang membuktikan adanya perbuatan memaksa seseorang, yaitu suatu perbuatan," katanya dikutip pada Jumat, 15 Desember 2023.

Menurutnya, yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain.

"Selama seseorang yang dipaksa belum memenuhi apa yang dikehendaki oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersangkutan tidak dapat dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi," tuturnya.

Hal itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor.

"Tindak pidana ini baru dianggap selesai dilakukan oleh pelaku jika orang yang dipaksa menyerahkan sesuatu itu telah kehilangan penguasaan atas sesuatu yang bersangkutan, maka dengan ditolaknya pungutan yang dilakukan oleh pegawai negeri tersebut."

Prof Suparji menegaskan, bahwa prosedur penetapan tersangka untuk tindak pidana suap, harus ada alat bukti yang membuktikan adanya meeting of minds antara pemberi dan penerima suap untuk menerima hadiah dan janji.

Meeting of minds merupakan nama lain dari konsensus, atau hal yang bersifat transaksional untuk menerima hadiah, atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Sedangkan pada tindak pidana gratifikasi, secara prosedural juga harus ada alat bukti yang menunjukkan adanya penerimaan hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. 

"Atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya," jelasnya.

Pada akhirnya, secara prosedural penetapan tersangka yang tidak memenuhi alat bukti yang berkualitas dan berkausalitas. 

Yaitu, tidak ada alat berupa saksi-saksi atau surat-surat yang menunjukkan dan membuktikan kapan, di mana, oleh siapa, kepada siapa adanya perbuatan seseorang memeras, menyuap dan menerima gratifikasi, dapat dibatalkan melalui mekanisme praperadilan.