Hadiah untuk Guru, Tanda Terima Kasih atau Gratifikasi? Berikut Penjelasan KPK

Hadiah guru bisa jadi gratifikasi
Sumber :
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Siap – Pemberian hadiah kepada guru sebagai bentuk terima kasih dari siswa atau wali murid bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia.

LPPNRI Minta KPK Periksa Proyek SPAM di Kabupaten Mempawah yang Dikerjakan PT Fatimah Indah Utama

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa praktik tersebut bisa tergolong sebagai gratifikasi.

Bahkan berpotensi menjadi bentuk suap apabila terkait dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban guru.

KPK Puji Komitmen Wali Kota Depok Cegah Korupsi: Sudah Bener, On The Track Secara Sistem

Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menegaskan bahwa dasar hukumnya sudah jelas.

Ia merujuk Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajibannya.

Selain Hadiah Fantastis, Kehadiran WAGs Spek Bidadari di Stadion Bakal Jadi Sorotan Menarik di Piala Dunia Antarklub

“Gratifikasi itu berbeda dengan suap. Tidak perlu ada janji atau permintaan. Jika hadiah itu diberikan karena jabatan, dan berlawanan dengan kewajiban, maka itu sudah dilarang,” kata Wawan kepada siap.viva.co.id saat dihubungi via pesan singkat, Senin, 5 Mei 2025.

Ia mencontohkan, seorang guru harus menjaga objektivitas dalam menilai seluruh murid.

Jika seorang wali murid memberikan hadiah menjelang pembagian rapor atau kelulusan, maka ada risiko besar bahwa pemberian itu bisa memengaruhi keputusan guru, atau setidaknya menciptakan konflik kepentingan.

Inilah yang ingin dicegah oleh aturan gratifikasi.

Meskipun istilah pegawai negeri lebih sering dikaitkan dengan ASN, Wawan menegaskan bahwa cakupan hukum gratifikasi juga bisa mencakup guru swasta atau honorer.

Hal ini mengacu pada pengertian luas pegawai negeri dalam Pasal 1 angka (2) UU Tipikor dan Pasal 92 KUHP, termasuk orang yang menerima gaji dari dana negara atau institusi yang mendapat bantuan dari negara.

“Pendidikan adalah tugas negara. Guru, meski di sekolah swasta, menerima upah dari lembaga yang bisa mendapatkan fasilitas dari negara. Maka dalam konteks ini, mereka juga bisa termasuk sebagai pihak yang tidak boleh menerima gratifikasi,” jelas Wawan.

Perbedaan Apresiasi dan Gratifikasi

Menurut KPK, tidak semua bentuk pemberian dikategorikan sebagai gratifikasi yang harus dilaporkan.

Konteks dan hubungan antara pemberi serta penerima sangat penting.

Wawan mencontohkan, jika alumni yang telah lulus bertahun-tahun lalu memberikan hadiah kepada gurunya karena empati atas kondisi sang guru, maka itu berbeda konteks dan tidak serta merta dianggap gratifikasi.

KPK juga telah mengatur jenis gratifikasi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan dalam Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019.

Di dalamnya terdapat 17 jenis gratifikasi yang dibolehkan, seperti pemberian dalam acara pernikahan, akikah, atau musibah, dengan batasan nilai maksimal Rp 1 juta per pemberi.

Hadiah Bernilai Kecil Tetap Bisa Masuk Gratifikasi

Banyak orang beranggapan bahwa pemberian hadiah kecil seperti alat tulis atau makanan tidak bermasalah.

Namun, KPK tetap menekankan pentingnya memperhatikan konteks pemberian.

“Kalau bentuknya simbolik, seperti kartu ucapan, tulisan tangan murid, atau bingkisan kecil dalam perayaan umum, biasanya itu tidak termasuk gratifikasi. Tapi jika sudah berupa barang berharga atau uang, apalagi diberikan saat momen penilaian, maka itu bisa jadi masalah,” ujar Wawan.

Pemberian antar rekan kerja seperti saat pensiun atau ulang tahun juga diatur batasannya: maksimal Rp 300 ribu per orang dan total tidak melebihi Rp 1 juta dari pemberi yang sama dalam setahun.

Pemberian yang tidak terkait dinas maksimal Rp 200 ribu per orang.

Pendidikan Harus Bebas dari Praktik Koruptif

Pada akhirnya, KPK menekankan pentingnya menjaga dunia pendidikan dari praktik-praktik yang bisa mengarah pada korupsi.

Dunia pendidikan harus menjadi ruang yang adil, di mana semua siswa diperlakukan sama tanpa pengaruh hadiah atau pemberian apa pun.

“Jangan sampai murid dari keluarga mampu yang sering memberi hadiah jadi lebih diperhatikan, sementara yang tidak memberi hadiah justru diabaikan. Ini bisa merusak keadilan dan integritas dalam pendidikan,” tegas Wawan.

Ia mengajak seluruh masyarakat, khususnya orang tua dan pendidik, untuk memahami bahwa menjaga integritas di sekolah juga merupakan upaya mencegah korupsi sejak dini.

Apresiasi dan penghargaan terhadap guru tetap bisa dilakukan, asalkan tidak menciptakan relasi kuasa atau konflik kepentingan yang berpotensi menimbulkan praktik gratifikasi yang koruptif.