Kisah Tragis Pembunuhan Keluarga Menir de Bruin saat Gedoran Depok yang Jarang Diketahui
- Tropenmuseum
Siap – "Kita akan telusuri sejarah yang tidak tertulis dalam buku Gedoran Depok. Di dalam buku tersebut, tidak menceritakan tentang penganiayaan dan pembunuhan yang diterima oleh Kaum 12 Marga," kata mendiang Kepala Bidang Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), Jozua Dolf Jonathans atau akrab disapa Opa Dolf kepada siap.viva.co.id di salah satu gedung tua, Jalan Pemuda, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Di bawah langit mendung, lelaki sepuh itu melangkah begitu semangat. Ia yang mengenakan kemeja berwarna hijau dan topi biru, terlihat begitu antusias saat mengantarkan kami ke salah satu gedung tua saksi bisu kekejaman sebagian laskar pemuda sebelum Gedoran Depok terjadi, persisnya pada 10 Oktober 1945, malam.
Dolf merupakan saksi hidup peristiwa menyeramkan tersebut.
Dia menuturkan saat malam sebelum gedoran terjadi, Depok dalam keadaan mencekam mengingat perang revolusi banyak terjadi di sekitar Jakarta, Bogor, dan juga pinggiran wilayah Depok.
"Saya masih ingat betul peristiwa itu," ucap Dolf saat memasuki halaman gedung tua itu.
Di gedung ini, kata Dolf, pada zaman dulu merupakan rumah seorang tuan bernama Menir de Bruin. Dia menikah dengan penduduk lokal, keturunan 12 Marga.
"Saya akrab dengan anaknya yang bernama Maudy de Bruin," kata Opa Dolf.
Sesampainya di dalam, ia sempat tidak melanjutkan cerita.
Sejenak tertegun, seolah menerawang kembali rentetan peristiwa nahas itu.
Kedua bola matanya menatap sekeliling bangunan, yang seperti sedang melakukan percakapan batin dengan masa lalu.
"Bagian ini masih asli," ucapnya spontan sambil menunjuk ke arah lorong dalam bagian gedung.
Semakin melangkah ke dalam ruangan, sayangnya yang semakin terlihat jelas hanya beberapa barang tak terpakai seperti kayu, kardus, asbes, dan tumbuhan liar.
Ya, boleh dikatakan bangunan tua bersejarah itu tidak terurus dengan layak. Ditambah langit-langitnya sudah mulai hancur di beberapa bagiannya.
"Sangat disayangkan, kondisinya menjadi seperti ini," katanya.
Berhenti di bagian tengah, Dolf menjelaskan dulunya rumah ini sangat megah dengan 6 kamar besar-besar di bagian sudut ruangan.
Namun, di balik kemegahan bangunan, tersimpan kisah pilu kekejaman laskar pemuda terhadap si empunya rumah, sebelum peristiwa Gedoran Depok terjadi.
Pada malam itu (10 Oktober 1945), kata Dolf, para laskar pemuda menyerang permukiman Kaum 12 Marga.
Di selubungi rasa ketakutan, sebagian besar warga bersembunyi di kebun belakang rumah mereka.
"Kakak saya bersama istrinya mendengar teriakan. Ia sedang bersembunyi di kebun belakang rumah menir de Bruin. Terjadi kegaduhan di dalam. Bahkan, ada suara anak kecil yang minta tolong dan ampun. Ya, suara Maudy, anak dari menir de Bruin," katanya.
Setelah melewati malam mencekam, pada pagi harinya sebagian warga berdatangan ke setiap rumah yang menjadi sasaran laskar.
Opa Dolf saat itu masih berusia 13 tahun, pun ikut memantau rumah warga bersama ayahnya, termasuk ke rumah menir de Bruin.
"Kami kaget ketika melihat kondisi keluarga menir de Bruin yang sungguh mengenaskan. Kepala menir putus. Kepala istrinya terkena luka bacokan. Badan Maudy penuh dengan darah," katanya.
Selang beberapa waktu, kata Dolf, Maudy tersadar dan mulai menceritakan kejadian menyeramkan itu kepada warga lainnya.
"Awalnya kami mengira, Maudy ikut terbunuh. Setelah dievakuasi, ia dan ibunya berhasil selamat," katanya.
Berdasarkan penuturan Dolf yang didapat dari cerita Maudy, pada malam itu (10 Oktober 1945) keluarganya sedang ketakutan akibat akan adanya serangan laskar.
Kejadian nahas itu pun terjadi. Mereka sekeluarga dibawa ke belakang untuk disiksa kecuali Maudy.
Tak tega melihat penderitaan ayahnya, Maudy pun memeluk sang ayah tercinta seraya meminta ampun kepada para laskar.
Maudy, masih kata Dolf, memohon untuk melepaskan keluarganya sambil menangis.
"Dia berkata, 'lepaskan kami. Jangan bunuh ayah saya.' Terdengar sangat memilukan. Di depan kedua matanya, ayah dan ibunya disiksa. Setelah itu, ayahnya dipenggal. Badan Maudy penuh dengan darah," katanya.
Pelakunya, lanjut Opa Dolf, sebagian besar merupakan laskar-laskar pemuda Indonesia.
"Salah satu pemimpin dari gerakan laskar adalah Tole Iskandar," katanya.
Meski demikian, Dolf pun menegaskan bahwa Tole Iskandar sendiri merupakan sosok yang baik hati.
Bahkan, Tole Iskandar menjalin hubungan baik dengan Kaum Depok sejak masih sekolah, sekitar tahun 1930-an.
"Yang melakukan itu adalah anak buahnya. Namun, pada waktu Gedoran Depok, kami ditangkap oleh dia. Namun, ia tidak melakukan tindakan kasar sama sekali terhadap kami," tandasnya.