Di Balik Cerita Penyebab Gedoran Depok

RS Harapan Depok tinggal harapan.
Sumber :
  • siap.viva.co.id - Zahrul Darmawan

Siap – Di saat beberapa penjuru kota memekikkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, di Depok justru tetap senyap seolah jauh dari euphoria masyarakat luas.

20 Tahun Dipimpin PKS Depok Banyak Keluhan, PKB Yakin SS Mampu Bawa Perubahan

Ya. Pada saat itu, 17 Agustus 1945, Depok belum mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

Berawal dari itu pula, akhirnya terjadi peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gedoran Depok.

Transaksi Hewan Kurban di Depok Mencapai Rp 286 Miliar pada Iduladha 2024, Imam Budi: Berkah

"Tempo hari saya wawancara langsung saksi hidup yang sebagian sudah meninggal baik dari pihak Depok (yang digedor) dan orang kampung (yang ngegedor) untuk bahan materi buku saya," kata Wenri Wanhar kepada siap.viva.co.id beberapa waktu lalu.

Selain dari para pelaku, Wenri yang merupakan penulis buku Gedoran Depok itu juga menemukan beberapa literatur tentang keadaan Depok pada masa itu.

3000 Umat Islam di Depok Gelar Shalat Idul Adha di Depan Gereja Betel Indonesia

"Laporan intelejen dari Belanda (Algemene Secretarie) di Arsip Nasional menggambarkan situasi Depok kala itu. Dan sekali lagi, penyebab terjadinya Gedoran Depok adalah tidak mau bergabungnya Depok pada pemerintahan Indonesia ketika merdeka," katanya.

Persisnya pada Jumat sore hari setelah Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, ketika itu sebagian warga Depok sudah ada yang bekerja di Jakarta dan memberitahukan ihwal tersebut kepada keturunan dua belas marga lainnya.

"Mereka segera pulang ke Depok untuk memberitahukan bahwa Indonesia sudah merdeka. Orang-orang Depok langsung mengadakan rapat di Gedung Ebenezer Depok. Mereka berunding untuk membicarakan ikut bergabung atau tidak," kata Wenri.

Perundingan itu mesti dilakukan mengingat Depok pada masa itu sudah memiliki pemerintahan sendiri dengan presiden yang mereka pilih setiap tiga tahun sekali.

"Dan dari hasil perundingan tersebut, Depok memilih untuk tidak mau bersatu dengan Republik Indonesia," kata Wenri.

Keengganan itu pula yang akhirnya membuat laskar-laskar bergabung menyerang Depok dari segala penjuru.

Bahkan, masih kata Wenri, ada sekitar 40.000 orang yang menggempur Depok.

"Benar-benar kacau saat itu. Dampak sosial pasca-kemerdekaan RI," katanya.

Teori yang Wenri ungkapkan ternyata agak sedikit berbeda dengan penuturan Kapten Suroso selaku pengurus Museum Pembela Tanah Air, Bogor, saat tim siap.viva.co.id melakukan penelusuran tentang sejarah Gedoran Depok.

Menurut Kapten Suroso, niatan pasukan nasionalis Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Ibrahim Adjie mendatangi Depok bukan untuk melakukan penyerangan.

"Kalau menurut saya, mereka datang ingin memberitahukan masyarakat Depok bahwa Indonesia telah merdeka dan mengajak Depok untuk merapat ke dalam Republik Indonesia," kata Kapten Suroso.

Namun, setelah sampai di Depok, entah ada apa gerangan TKR justru ikut ambil bagian dalam peristiwa Gedoran Depok.

"Ada yang memprovokasi sehingga timbul peperangan. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api," tambahnya.

"Meski demikian, realitasnya Gedoran Depok telah terjadi. Dan saat ini, keadaan di sana pun sudah aman. Tidak ada lagi clash antara keturunan Duabelas marga dengan masyarakat Depok lainnya," tandasnya.