Mengenal Tokoh Muslim Tionghoa Pencomblang Sukarno-Fatmawati
- Istimewa
Dengan perlahan dan penjelasan merinci, Karim Oei menegaskan kepada Nyonya Sardjono kalau suaminya hanya menjadi utusan Sukarno.
"Sekadar mewakili Bung Karno mengucapkan ijab-kabul, lain dari itu tidak ada," tegas Karim Oei.
Nyonya setuju. Opseter Sardjono pun menjadi Wakil Mutlak dan pernikahan terlaksana.
Kontak dengan Sukarno tidak berhenti sampai di situ, meski kemudian Karim Oei tambah sibuk.
Ia mempersunting Thio Ay Nio atau Maimunah Mukhtar. Dari pernikahan itu hadir tiga orang anak.
Ia secara tidak langsung mulai menerapkan konsep pembaruan antara kalangan Tionghoa dan Bumiputera.
Salah satu contoh nyata, menikahkan anak-anaknya dengan orang Bumiputera.
Di bidang agama pun, ia menjadi pintu gerbang bagi orang Tionghoa mengenal Islam secara lebih merinci dan menyeluruh.
Bersama Muhammadiyah, Karim Oei sangat aktif mengemban tugas sebagai Konsul Muhammadiyah Bengkulu selama 14 tahun, lalu Konsul Muhammadiyah Se-Sumatra (1944-1946).
Pada masa Pendudukan Jepang, Karim Oei ditugaskan menjadi Wakil Ketua Shu-Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Daerah).
Pada tahun 1945, Babadek (sapaan akrab masyarakat Bengkulu terhadap Karim Oei) terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia.
Setelah proklamasi, Republik Indonesia berdaulat, ia bergabung dengan Partai Masyumi.
Selain aktif di kepartaian dan organisasi Muhammadiyah, kariernya di luar urusan politik pun terus melaju.
Mulai dari menjabat Direktur Bank Muslimin Indonesia di Bengkulu, dan turut membidani kelahiran Bank Central Asia (1973), serta usaha lain di bidang asuransi, perdagangan, dan industri.