Mahasiswa UI Protes Insenerator Sampah, Chandra Sentil Petahana Depok: Menurut Saya Ugal-ugalan

Ilustrasi sampah Depok. Chandra kritik penggunaan insenerator
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Mahasiswa Universitas Indonesia atau UI menyampaikan kekhawatirannya terkait rencana Pemerintah Kota Depok yang akan menggunakan insenerator sebagai upaya menanggulangi persoalan sampah.

Chandra Skakmat Jawaban Petahana Depok soal Migrasi: Jaka Sembung Banget

Setidaknya hal itu diungkapkan Athar Hisam, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI yang tinggal di kawasan Sukmajaya, Depok. 

Menurutnya, lokasi insinerator yang begitu dekat dengan permukiman tidak ideal dan telah menimbulkan keresahan warga.

Prihatin soal Pengangguran, Supian: 25 Tahun Depok Berdiri Belum Punya BLK

"Masih banyak kekhawatiran sampai detik ini, di grup RT dan RW masih pada membahasnya. Dampaknya juga bisa menimbulkan kemacetan akibat distribusi sampah setiap hari," katanya saat menghadiri bedah gagasan calon Wali Kota Depok belum lama ini. 

Merespon hal tersebut, calon Wakil Wali Kota Depok nomor urut 02, Chandra Rahmansyah menjelaskan, bahwa berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 6 Tahun 2021 tentang persyaratan limbah bahan berbahaya dan beracun, insenerator juga minimal harus 300 meter dari pemukiman.

Supian-Chandra Kembali Unggul Versi Survei Indikator: Peluang Gulingkan PKS Depok Sangat Besar

"Kalau jaraknya 200 meter bahkan lebih dekat, itu menurut saya ugal-ugalan. Jadi pertama dalam pengelolaan sampah, itu harus dilihat dulu sampahnya," katanya dikutip pada Minggu, 10 November 2024.

Chandra menerangkan, dalam teori pengolahan sampah, limbah itu pertama harus dikurangi jumlahnya. 

Kemudian yang kedua, juga diperkecil ukurannya, volume dan jenisnya. Adapun di Kota Depok berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), 62 persen itu adalah limbah organik. 

"Nah sampah organik itu banyak mengandung air. Jadi sebenarnya enggak cocok kalau dibakar pakai insenerator. 21 persen itu sampah plastik, juga masih dibakar," tuturnya.

Menurut Chandra, seharusnya itu bisa di daur ulang. Bukan malah menggunakan insenerator yang dapat menyebabkan kanker, akibat gas beracun.  

"Mungkin tadi sudah dibilang, mungkin jadi RDF (Refuse Derived Fuel) dan lain-lain. Nah sisanya sekian belas persen itu kalaupun di insenarator, kemudian fisibel enggak kalau kemudian memang mau dipakai insenerator?" tanya dia.

"Nah masalahnya adalah, pengolahan dengan insenerator itu adalah opsi paling-paling terakhir," sambungnya. 

Sebab, kata Chandra, penggunaan insenerator akan menghasilkan emisi gas-gas berbahaya. Contohnya gas emisi rumah kaca, dan menurutnya ini sangat bertentangan dengan semangat konsep hari ini, yaitu pembangunan berkelanjutan. 

"Kita hari ini sedang menghadapi yang namanya krisis iklim, akan juga berdampak pada krisis air dan itu diakibatkan dari banyaknya rumah kaca," bebernya.

Berkaca dari Jepang

Lebih lanjut sosok yang dikenal berpengalaman sebagai Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu menjelaskan, ada lagi gas berbahaya, karena insenerator itu pembakaran 850 derajat ke atas. 

"Jadi dia akan menghasilkan gas yang berbahaya namanya dioksin. Dioksin kalau terpapar bisa berbahaya," terangnya. 

Chandra juga menerangkan, bahwa di negara maju, di kawasan Asia Pasifik, pengguna insenerator itu ada di Jepang dan Singapura paling besar. 

"Dan rata-rata mereka sudah pada pakai air pollution control, yang mana harganya ini sangat mahal," tuturnya.

"Jadi enggak bisa hanya insenerator tok. Ke-dua, mereka dikoneksikan dengan berbagai sistem. Dan saat ini di dunia, ini baru yang paling canggih digunakan ini insenerator generasi ke tiga, yang mana ini masih menghasilkan dioksin," bebernya. 

Mahal di Ongkos

Chandra menambahkan, memang saat ini sudah ada wacana insenerator generasi ke empat, yang menggunakan elektron. Konon dioksinya sudah tidak ada. 

"Tapi itu kan belum. Bahkan di Jepang aja pengolahan sampah sekarang pakai insenerator generasi pertama, seperti konsep tungku bakar," ucapnya. 

"Jadi, ini potensinya membahayakan. Pertanyaannya apakah kemudian kita sanggup membiayai air pollution control? Itu satu. Ke-dua kontrolnya gimana?" tanya Chandra lagi. 

Karena, lanjut dia, alat pengukur dioksin belum ada di Indonesia.  

"Kalau kita mau ukur dioksin, itu lab-lab di Indonesia semuanya ke Eropa. Harus ngukur ke Eropa dan harganya sangat-sangat tinggi," paparnya.

"Jadi terkait (keluhan) tadi, pastinya kami akan kaji lagi (keberadaan insenerator), setelah dilantik (jika terpilih), kami akan kaji lagi secara mendalam terkait aspek-aspek dari aspek lingkungan, terutama terkait aspek kesehatan masyarakat. Pasti kita akan kaji lagi," tegas aktivis alumni UI tersebut.