Memahami Lebih Utuh Tradisi Ruwatan dan Artinya

Ruwatan
Sumber :
  • Istimewa

SiapRuwatan jamak dilakukan dalam masyarakat pedesaan. Bagi pelaksanaannya, tradisi ruwatan sebagai ritual tolak bala atau pengusiran roh jahat dan pengaruh tidak baik dalam diri atau komunitas tertentu. Namun, apa sebetulnya ruwatan itu?

Ragam Tradisi Unik Perayaan Natal di Berbagai Daerah Indonesia

Mengapa sampai sekarang sebagian masyarakat kita masih percaya dan bahkan tetap melalukan ritual ruwatan? Tentu semua ini tidak terlepas dari tradisi yang melekat dalam komunitas ataupun kelompok masyarakat kita.

Ruwat dalam bahasa Jawa memiliki arti lepas atau dibebaskan. Pelaksanaan ritual tersebut disebut dengan ngruwat atau ruwatan, yang berarti melepaskan atau membebaskan.

Fakta Menarik Hari Ibu: dari Kongres Perempuan hingga Tradisi Unik di Berbagai Negara

Upacara ini biasanya bertujuan untuk melepaskan sesuatu yang berhubungan hal mistis yang tersimpan dalam tubuh, seperti kutukan dewa yang menimbulkan bahaya, malapetaka, atau keadaan yang menyedihkan.

Ritual ruwatan dapat juga berarti dipulihkan atau dikembalikan pada keadaan semula, atau menolak bencana yang diyakini akan menimpa pada diri seseorang, mentawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang akan membahayakan.

Penampakan Dukun Vietnam Balas Sakit Hati Lawan Timnas Indonesia, Begini Ritualnya

Tradisi ruwatan dilakukan sebagai suatu permohonan agar manusia diselamatkan dari gangguan dan bencana yang mengancam hidup dan kehidupannya.

Melalui ruwatan, manusia merasa terlindungi oleh kekuatan besar yang dipercaya sebagai kekuatan penyelamat.

Dilansir laman resmi Kemendikbud, dalam ritual ruwatan biasanya digelar pertunjukkan wayang. Wayang ialah bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan.

Pergelaran wayang kulit ini biasanya melakoni kisah Murwakala. Tujuannya, agar orang yang diruwat hidup selamat dan bahagia, terlepas dari nasib jelek.

Dalam kisah wayang Murwakala, seorang putera bernama Salah Kededen mendadak berubah menjadi raksasa jahat dan memangsa manusia yang masuk dalam kategori Sukerta.

Sukerta berarti orang yang cacat, yang lemah, dan tak sempurna. Karena itu, orang tersebut harus diruwat, artinya dibersihkan atau dicuci agar bersih. Konon, kelompok manusia Sukerta yang tidak diruwat akan menjadi mangsa batara kala.

Seperti yang dinukil dari buku Bratawidjaja karya Thomas Wiyasa, yang berjudul Upacara Tradisional Masyarakat Jawa (1988), orang-orang yang termasuk golongan Sukerta, antara lain pertama, Ontang-anting: anak laki-laki tunggal dalam keluarga, tak punya saudara kandung.

Kedua Unting-unting: anak perempuan tunggal dalam keluarga. Ketiga, Gedhana-gedhini: dua anak dalam keluarga, laki-laki dan perempuan. Keempat, Uger-uger lawang: dua anak laki-laki dalam keluarga.

Kelima, Kembar sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga. Keenam, Pendhawa: lima anak laki-laki dalam keluarga. Ketujuh, Ngayomi: lima anak perempuan dalam keluarga.

Kedelapan, Julungwangi: anak lahir pada saat matahari terbenam dan kesembilan, Pangayam-ayam: anak lahir saat tengah hari.

Dalam prosesi tradisi ruwatan, ada sejumlah syarat yang harus dilakukan, yakni menyediakan peralatan ruwat, sajian, korban, atau mantera yang dijadikan sarana untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan kekuatan penyelamat yang diinginkan.