Berkaca dari Kasus Gagal Ginjal Akut, Dosen Farmasi UP Bocorkan Tips Memilih Obat
- Istimewa
Siap – Kualitas obat ternyata sangat berpengaruh pada kemasan. Hal itu disampaikan oleh salah satu dosen dari Fakultas Farmasi Universitas Pancasila (UP), Hesti Utami.
Lantas bagaimana cara membedakan kualitas kemasan obat yang baik?
Hesti menerangkan, bahwa pengemasan obat sangat mempengaruhi kualitas. Ia lantas menganalogikannya dengan sebuah pakaian.
"Seperti pakaian, itu pasti ada grade-gradenya ya, kualitas. Tapi kalau yang antara serit sama blister memang grade ketahanannya terhadap suhu kelembaban tuh lebih tinggi blister dibandingkan yang lain," katanya dikutip pada Kamis, 5 Oktober 2023.
Menurut Hesti, rata-rata kalau obat-obatan yang mahal itu bisanya menggunakan lapisan blister.
"Blister itu dia punya wadah satuan, ada seperti wadah-wadah tertentu yang menonjol gitu loh. Tapi kalau yang murah-murah dia enggak akan pilih itu, karena mahal kemasannya," jelas dia.
Sebagai negara yang beriklim tropis, tentu pengemasan pada obat sangat berpengaruh dalam kualitas.
"Kalau dia penyimpanannya enggak benar gitu. Kalau dia penyimpanannya sejuk harusnya enggak ada masalah sih," tuturnya.
Nah terlepas dari itu, Hesti juga sempat memberikan saran terkait peredaran obat di Indonesia.
Menurut dia, Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM harusnya lebih diperkuat pada pengawasan pre market.
Hesti berpendapat itu penting, agar kasus gagal ginjal akut atau DEG yang sempat dialami sejumlah anak Indonesia beberapa waktu lalu tak lagi terulang.
"Iya kan selama ini kasus DEG itu karena pree markertnya yang masih kurang pengawasannya, jadi kan ternyata bahan baku obatnya itu ada cemarannya."
Hesti berpendapat, sebenarnya memang itu bukan tanggungjawab BPOM, melainkan industri farmasi untuk melakukan pemeriksaan.
"Tapi ternyata kan tidak semua industri farmasi melakukan tes sampling tersebut. Harusnya mereka melakukan dan melaporkan kepada BPOM dari sejak diproduksi," ujarnya.
"Kalau diproduksi kan ada base-nya ya, produksi pertama terus kedua, ketiga. BPOM kan tidak mungkin ngawasin terus-menerus. Jadi harusnya kemandirian dari industri farmasi," sambung dia.
Hesti mengatakan, sebenarnya kalau aturan awal itu industri farmasi ketika melakukan submit atau registrasi harus melampirkan bukti-bukti. Mulai dari pemeriksaan bahan baku dan segala macamnya.
"Tapi kan dalam perjalanan waktu tergantung industrinya sendiri, mereka mau konsisten tidak melakukan pemeriksaan dan melapor BPOM," kata Hesti.
Menurutnya, BPOM tidak mungkin melakukan pemeriksaan terus menerus ke industri, farmasi lantaran terbatasnya anggaran.
"Jadi kembali ke industri farmasinya, kemandirian. Karena ada cara pembuatan obat yang baik, itu kan tanggung jawab industri untuk memastikan diproduksi dengan cara yang benar," tuturnya.
"Makanya di Amerika kan nggak ada sampling karena mereka sudah mandiri mengikuti sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik," timpal dia lagi.
Namun sayangnya di Indonesia belum demikian.
"Untuk di Indonesia masih ada sampling, karena masih ditemukan ada yang tidak disiplin. Jadi dalam kasus ini sebenarnya kembali ke industrinya, yakni tentang kesadaran."