KAKG, Cara Jitu Justitia Lindungi Korban Kekerasan Seksual
- rri
Siap – Komnas Perempuan mencatat, jumlah aduan kekerasan seksual pada wanita ataupun pria di Indonesia berpotensi mengalami peningkatan.
Berdasarkan data yang ada saat ini, pada tahun 2022 terjadi sebanyak 4.371 kasus. Sedangkan di pertengahan periode 2023, tercatat ada 4.322 kasus.
Itu artinya, rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 17 kasus per hari. Adapun, sebanyak 339.782 kasus dari total pengaduan tersebut adalah kekerasan berbasis gender (KBG).
Disitat dari laman Astra, tindak kekerasan seksual yang terjadi pada individu tidak hanya memiliki dampak psikis, namun juga dampak psikososial yang signifikan.
Secara fisik, korban bisa mendapatkan luka, penyakit menular seksual, atau bahkan yang paling parah adalah hilangnya nyawa.
Dari segi psikis, peristiwa traumatis yang bisa saja telah terjadi berulang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pasca trauma (PTSD).
Kemudian, menyakiti diri sendiri (self-harm), atau yang paling fatal adalah pikiran untuk bunuh diri.
Kondisi korban akan semakin berat karena seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi, lantaran adanya stigma atau penolakan dari keluarga hingga masyarakat.
Padahal, semestinya orang- orang yang ada di sekitar korban serta mendukung untuk pemulihan, baik itu dalam mencari bantuan kesehatan sik dan mental, mengurangi stigma sosial, maupun dalam menempuh jalur hukum.
Kekerasan seksual sendiri bisa terjadi kepada siapapun, termasuk laki-laki atau kelompok minoritas seksual.
Meskipun saat ini kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi.
Kondisi itulah yang menjadi salah satu alasan Justitia Avila Veda, wanita asal Jawa Barat, untuk menjalankan gerakan membantu korban kekerasan seksual.
Justitia sendiri pernah mengalami kekerasan seksual. Berpijak pada keresahan dan latar belakangnya sebagai advokat, ia memiliki ide untuk membentuk program yang mempermudah para korban lain dalam menerima bantuan hukum.
Melalui postingan Twitter yang dia sebarkan, akhirnya banyak pengacara yang tertarik untuk menjalankan program sosial tersebut.
Aksinya itu kemudian dikenal sebagai Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender atau KAKG.
Mereka adalah kelompok yang memiliki program pendampingan korban kekerasan seksual berbasis teknologi.