Ketika Rakyat Bali Angkat Senjata, Jejak Berdarah Puputan Margarana
- Dok/ wiki commons
Siap – Rakyat Bali dalam melawan penjajah Belanda menggunakan semangat Perang Puputan. Perang Puputan yang paling terkenal adalah Puputan Margarana.
Perang itu dipimpin oleh Kolonel I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan Belanda yang ingin menguasai Bali. Peperangan terjadi pada 20 November 1946 dini hari sampai dengan siang hari.
Puputan Margarana merupakan salah satu perlawan masyarakat Bali dalam melawan Belanda.
Pertempuran ini dipimpin oleh Letnal Kolonel Inf. I Gusti Ngurah Rai. Hal tersebut menjadikan I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh Puputan Margarana.
Dalam bahasa Bali, puputan berarti perang yang dilaksanakan sampai mati atau hingga titik darah penghabisan.
Sementara itu, Margarana mengacu pada tempat pertempuran berlangsung. Selain Puputan Margarana, ada juga puputan laun yang pernah terjadi di Bali yaitu Puputan Bandung dan Puputan Klungkung.
Latar belakang Puputan Margarana diawali dengan kedatangan kembali Belanda setelah Indonesia merdeka. Belanda tidak hanya datang ke Jawa namun juga datang ke daerah-daerah lain termasuk Bali.
Kedatangan Belanda di Bali awalnya hanya untuk melucuti senjata tentara Jepang. Namun kedatangan Belanda banyak ditantang rakyat Bali dan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Dari sinilah awal mula terjadinya pertempuran-pertempuran kecil antara pejuang Bali dengan Belanda.
Belanda kemudian mengajak berunding melalui surat dari Letnal Kolonel J.B.T Konig kepada I Gusti Ngurah Rai.
Permintaan tersebut ditolak oleh I Gusti Ngurah Rai. Beliau menegaskan bahwa selama Belanda masih di Bali, maka pejuang dan rakyat Bali akan terus melawan.
Perang Puputan Margarana dimulai saat Belanda membawa pasukan dan mengepung desa yang menjadi lokasi pertahanan tentara rakyat Bali.
Kejadian tersebut di pagi hari pada tanggal 20 November 1946. Kejadian tempat menembak tidak bisa dielakan lagi hingga membuat Belanda terdesak.
Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan pejuang Bali.
Meskipun sudah dikepung dan kalah dari segi jumlah prajurit serta persenjataan, namun I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya tetap melawan. Mereka terus melawan demi menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Perlawanan tersebut mengakibatkan banyaknya jatuh korban dari kedua belah pihak. Pasukan Bali sebanyak kurang lebih 100 orang gugur, termasuk I Gusti Ngurah Rai.
Sementara itu, sekitar 400 orang tentara Belanda juga tewas saat pertempuran tersebut.
Dinukil dari buku Sejarah Indonesia Modern, Jakarta (1999), Puputan Margarana juga melibatkan semua elemen masyarakat Bali. Banyak warga Bali yang ikut bertempur dan berkontribusi membantu para pejuangnya melawan Belanda.
Peran Masyarakat Desa Marga dalam Perang Puputan Margarana. Selain melibatkan banyak prajurit, peristiwa Puputan Margarana juga melibatkan masyarakat di lokasi tersebut. Adapun peran masyarakat Desa atau Marga dalam Puputan Margarana, sebagai berikut:
1. Penjaga Pos Pengintaian
Dalam Puputan Margarana, pasukan Indonesia mendirikan tiga pos penjagaan yaitu; (1) Pos 1 sebagai pos pengintaian. Masyarakat yang berjaga di pos ini bertugas untuk melihat keadaan apabila Belanda datang. (2) Pos 2 disebut sebagai pos penerima berita. Petugas pos ini bertugas menerima berita dari pos pertama. (3) Pos 3 sebagai pos induk pasukan. Pos ini digunakan untuk menyiapkan pasukan yang lebih besar.
2. Penjaga Tempat Perlindungan
Selain menjaga pos pengintaian, masyarakat Desa Marga juga ada yang bertugas sebagai penjaga tempat perlindungan. Tempat tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian masyarakat dan pasukan I Gusti Ngurah Rai, jika sewaktu-waktu Belanda menyerang desa tersebut.
3. Menyiapkan Keperluan Logistik
Warga desa juga ada yang bertugas untuk menyiapkan logistik. Beberapa wagra berperan untuk memasak makanan untuk pasukan I Gusti Ngurah Rai. Tak hanya menyiapkan makanan, ada juga warga yang menyiapkan tempat untuk istirahat para pasukan Indonesia. Persitiwa tersebut menjadi bukti kegigihan masyarakat Bali dalam menjaga kemerdekaan Indonesia.
Puputan Margarana menunjukkan semangat dan heroisme masyarakat Bali dalam menolak segala bentuk penjajahan di Pulau Dewata pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Hingga kini, Puputan Margarana selalu dikenang dan diperingati masyarakat Bali serta Indonesia.