3 Kesimpulan Dedi Mulyadi di Balik Skenario Kasus Vina Cirebon: Tidak Usah Dicari
- Istimewa
Siap – Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi meyakini, bahwa para terpidana kasus Vina Cirebon tidak bersalah. Lantas apa yang memperkuat dugaannya itu?
"Saya sudah sampai pada kesimpulan dan meyakini bahwa mereka (para terpidana) tidak bersalah," tegas Dedi kepada awak media usai mendampingi keluarga terpidana di Bareskrim belum lama ini.
Lebih lanjut Dedi Mulyadi mengatakan, banyak pihak bertanya tanya terkait keberadaan dirinya di kasus Vina Cirebon, ia pun menegaskan bahwa dirinya tampil hanya untuk membela yang tidak salah.
"Kenapa saya tampil disini, karena saya ingin membela yang tidak bersalah dan memberikan ruang dan jalan agar mereka terbebas," tegas Dedi.
Kerena menurut Dedi, tidak boleh negara ini menghukum orang yang tidak bersalah.
"Jadi negara tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah," katanya.
Lebih lanjut Dedi menuturkan bahwa semua pihak tidak perlu lagi mencari ketiga DPO kasus Vina Cirebon karena sampai kapan pun tidak akan ditemukan.
Pasalnya menurut Dedi, kita harus membaca kasus ini secara utuh.
"Jadi ketiga DPO itu adalah hasil karya ilmiah Sudirman, kenapa saya ngomong begitu? Pertama, skenario pelaku pembunuhan dan pemerkosaan yang berjumlah 11 orang itu berawal dari kesurupan Linda," ungkap Dedi seperti dikutip akun TikTok miliknya.
Semua itu kata Dedi berawal dari kesurupan Linda, kemudian direkam oleh Kakak Vina dan disampaikan kepada Iptu Rudiana ayah Eki.
Sehingga, Rudiana itu memiliki asumsi anaknya dan Vina dibunuh oleh 11 orang yang berdampak pada penangkapan.
"Delapan orang mendekam di penjara dan satu orang sudah bebas yakni Saka Tatal karena kala itu masih dibawah umur," terang Dedi.
Dari kedelapan orang itu, lanjut Dedi, 7 orangnya berkawan dan mereka biasa tinggal di RT dan RW dekat SMP 11, kemudian satu orang lagi yakni Rivaldi atau Ucil dari tempat lain yang tidak mengenal terhadap ke 7 orang itu.
Rivaldi atau Ucil, kata Dedi, ditangkap sesungguhnya di polsek atas kasus membawa senjata tajam (sajam) dan yang dibawa oleh Ucil itu sebenarnya mandau, kemudian di pengadilan senjata itu dikasih nama samurai.
"Saya enggak tau kok para penyidik, jaksa dan hakim tidak bisa membedakan mana samurai dan mana mandau, satu produk dari Kalimantan, satu lagi dari Jepang," ucap Dedi.
Lebih lanjut Dedi menuturkan, ketiga orang yang dinyatakan sebagai DPO merupakan hasil pengakuan dari Sudirman, nah Sudirman sendiri dari sisi intelektual diragukan kemampuannya.
"Karena dia (Sudirman) sekolah SD nya saja baru lulus pada umur 17 tahun, tidak naik kelasnya 4 kali atas dasar tersebut, saya yakin pernyataannya berubah ubah dan itu bersifat imajinatif atau fiksi dari cara berfikirnya, mungkin rasa takut atau aspek lain," kata Dedi.
"Sehingga ketiga orang itu disebut sebagai DPO tanpa memiliki dasar pijakan yang kuat, asal sebut saja," sambungnya.
Sehingga lanjut Dedi, Sudirman menyebut nama Pegi, kenapa menyebut Pegi? Karena mungkin dalam pikirannya ingat bahwa Pegi adalah temen SD nya, suka bertemu sehingga disebut saja.
"Kemudian, Dani dan Andi juga disebut, nah kedua orang ini kita tidak tau siapa dia," katanya.
Lebih lanjut Dedi mengatakan, kenapa dirinya sebut tidak usah dicari karena memang tidak pernah ada peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh 11 orang ini, baik yang sudah bebas ataupun yang masih berada di dalam penjara termasuk ketiga DPO itu.
Kenapa dikatakan tidak ada, Dedi mengaku, dirinya sudah mengumpulkan data, mewawancarai terus kemudian bertanya dari hati ke hati, mereka itu masuk penjara dikuatkan oleh tiga hal.
"Pertama pengakuan spontan Sudirman, kesaksian Pak RT Pasren dan anaknya Abdul Kahfi, ketiga Aep dan Dede sehingga mereka akhirnya masuk penjara, gara gara tiga faktor ini," kata Dedi.
Untuk itu, kata Dedi, jika ingin membebaskan ketujuh orang terpidana, maka pertama proses hukum terhadap dugaan kesaksian palsu.
"RT Pasren dan anaknya Abdul Kahfi harus diproses, kedua proses juga Aep dan Dede, itu harus ada proses hukumnya," kata Dedi.
Dan yang ketiga, lanjut Dedi, Sudirman itu harus diperiksa kemampuan cara berpikirnya, apakah memenuhi standar atau tidak, karena publik Indonesia terguncang tiga pernyataan orang yang diragukan kebenarannya.
"Walaupun putusan hukumnya sudah tetap dan kemudian mereka dituduh melakukan pembunuhan tanpa alat bukti," tandas Dedi