Mau Jadi Penguasa Gaib di Jawa, Simak Mantra Kuno Berikut!

Gambar umbul menggambarkan lelembut-lelembut di Jawa.
Sumber :
  • Dok. benugila

SiapMalam satu suro atau penanda hari pertama sistem penanggalan Jawa juga bertepatan dengan 1 Muharram kalender Hijriah, selalu identik dengan hal-hal mitis, gaib, dan klenik.

Pengakuan Ruben Onsu tentang Teror Makhluk Gaib Bikin Bulu Kuduk Bergidik

Di Jawa, nuansa mitis begitu kuat pada berbagai ritual pada peringatan malam satu suro. Salah satu teks Suluk Plencung merekam hubungan orang Jawa dengan kekuatan magis.

"Apuranen sun angetang,
lelembut ing Nusa Jawi,
kang rumeksa ing nagara,
para ratuning dhedhemit,
agung sawabe ugi,
yen apal sadayanipun,
kena ginawe tulak,
kinarya tunggu wong sakit,
kayu aeng lemah sangar dadi tawa."

Jumat Malam, Arus Mudik di Pelabuhan Merak Mulai Merayap

Bait di atas merupakan bait pembuka dari 26 bait Suluk Plencung menggunakan metrum Sinom pada aturan tembang Macapat.

Masing-masing metrum tembang Macapat, tulis Poedjasoebroto dalam Wayang Lambang Ajaran Islam, memiliki penciptanya sendiri-sendiri, seperti Mijil; Kinanthi; Sinom; Asmaradhana; Megatruh digubah Sunan Giri. Lalu Mijil dan Pocung digubah Sunan Gunung Jati; Pangkur digubah Sunan Muria; Durma digubah Sunan Bonang; dan Maskumambang digubah Sunan Maja Agung.

Mengenal Lebih Dalam Megengan, Tradisi Masyarakat Jawa Sambut Ramadan

Suluk Plencung digubah sebagai mantra untuk seseorang ketika sedang melakukan perjalanan melintasi wilayah asing, meminta restu kepada dhanyang atau penguasa gaib wilayah tersebut.

Dhanyang, menurut James Dananjaya dalam Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng dan lain-lain, adalah roh sakti memiliki sifat mirip dengan dhemit. Dia juga dihubungkan dengan tempat angker tertentu seperti pundhen, tempat orang berkhaul, mempunyai sifat baik hati, dan melindungi.

Suluk Plencung, digubah pada Sabtu Pahing, tanggal 10 Dulkidah 1719 tarikh Jawa, dengan bunyi sengkalan: Trusing Rat Pa??ita Raja, atau jika dikonversikan ke penanggalan Masehi bertepatan dengan 19 Juli 1791, memuat nama-nama lelembut dan cerita sejarah.

Pada bait ke-8, misalnya, tersua nama lelembut, Genawati, berkuasa di Goa siluman. Goa tersebut merupakan tempat persinggahan Pangeran Diponegoro ketika melakukan pengembaraan atau disebut lelono, tahapan inisiasi masa remaja menuju dewasa.

Diponegoro mengembara pada tahun 1805 mengikuti jejak sang leluhur, Panembahan Senapati, ke berbagai tempat di Jawa, salah satu persinggahannya tak lain Goa Siluman, dekat Sungai Oyo, tempat bersemayam lelembut bernama Dewi Genowati.

Goa Siluman, menurut Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, pernah disebut dalam Kidung Lalembut (Nyanyian Kepada Para Roh) sebagai bagian dari istana para lelembut milik Ratu Kidul dengan wakil Dewi Genowati.

Selain Genowati penguasa Goa Siluman, tersua pula Kethek Putih penguasa Ardi Kendalisada atau Gunung Kendalisada pada bait 12. Kethek Putih pada cerita pewayangan disebut sebagai Hanoman.

Hanoman, catat Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Bharata Yudha: Dimensi Religi dan Budaya dalam Serat Bratayuda, dianggap pernah bertapa di gunung Kendalisada di dekat Bawen, Kabupaten Semarang.

Hanoman diceritakan berjaga di puncak bukit Kendalisada untuk menjaga Rahwana, dipercaya terkubur di kawah belerang, di lokasi kini dikenal sebagai reruntuhan Candi Gedong Songo di lereng terjal Gunung Ungaran.

Suluk, meskipun ditembangkan, tidak semata-mata berfungsi sebagai hiburan melainkan, "memiliki makna tersembunyi seperti meneguhkan sesuatu bahkan sarana kritik. Itu bisa dipelajari jika suluk ini dikaji secara benar," terang Sunu Wasono, pengajar di fakultas Ilmu Budaya UI beberapa waktu lalu.