Dulunya Kartosoewirjo Patriot, Pimpin NII Kemudian Dieksekusi Mati

Kartosoewirjo ketika hendak dieksekusi.
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah seorang patriot yang lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905. Ia turut memerangi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia di tahun 1945 hingga 1949.

All Out Mengusung Riza-Marshel di Pilkada Tangsel Gerindra Sebut Parpol Lain Bakal Dukung

Sayangnya, seiring jalannya waktu, Kartosoewirjo dicap sebagai pemberontak.

Idealisme Kartosoewirjo tentang negara Islam sangat kuat. Ia bahkan sempat menolak posisi menteri yang ditawaran Amir Sjarifuddin.

Inginkan Perubahan Emak Emak Instruktur Senam Dukung Supian Suri di Pilkada Depok 2024

Saat itu, Amir menjabat sebagai perdana menteri. Kartosoewirjo mengatakan kalau Indonesia bukan negara Islam, ia tak ingin memegang jabatan apa pun.

Riwayat pendidikan

Happy Wedding! 2 Selebrities Terkenal Berhasil Gelar Pernikahan, Satunya Hasil Rebut Orang Ketiga

Sejak kecil Kartosoewirjo dikenal sebagai sosok yang cerdas. Ketika masih berusia 12 tahun, ia bahkan mampu masuk sekolah Europeesche Lagere School (ELS), sekolah untuk orang Eropa.

Adapun orang Indonesia yang bisa bersekolah di sana hanyalah yang memiliki kecerdasan sangat tinggi.

Usai lulus ELS tahun 1923, pasangan dari Dewi Siti Kalsum itu melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.

Di tempat itu ia mulai menjadi kader organisasi Syarikat Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto.

Kartosoewirjo sangat akrab dengan Tjokroaminoto. Selain menjadi muridnya, Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokro.

Pria bergelar de Ongekroonde van Java atau Raja Jawa Tanpa Mahkota tersebut sangat memengaruhi pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.

Pemikiran politiknya semakin bertambah setelah dirangsang oleh pamannya. Tak heran jika Kartosoewirjo tumbuh menjadi sosok yang memiliki integritas keislaman tinggi serta kesadaran politik yang besar.

Karier politik

Karier politik Kartosoewirjo dimulai di organisasi Jong Java. Sayangnya, karena perbedaan pandangan politik, ia mengundurkan diri.

Bersama rekan lainnya, Kartosoewirjo kemudian mendirikan organisasi baru, Jong Islamienten Bond (JIB) dan menjadi ketua JIB cabang Surabaya.

Setelah berkenalan dengan Tjokro, Kartosoewirjo kemudian masuk ke Partai Serikat Islam (PSI) yang kemudian menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).

Di sini karier politiknya semakin melejit. Pada kongres PSII 1936, Kartosoewirjo terpilih menjadi Ketua Muda PSII.

Selain menjadi kader partai, Kartosoewirjo juga sempat bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Harian Fadjar Asia.

Ia banyak membuat tulisan tentang penentangan terhadap bangsawan Jawa yang kerap bekerja sama dengan Belanda. Ia juga sering menyerukan agar kaum buruh bangkit dan memperbaiki kondisi tanpa memelas.

Membentuk Negara Islam Indonesia (NII)

Kartosoewirjo melalui wakil-wakilnya seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi mengusulkan ide tentang pembentukan negara Islam untuk Indonesia.

Usulan ini pula yang melahirkan kalimat pertama Piagam Jakarta berisi "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Namun, kalimat tersebut dihilangkan.

Meski Sukarno sudah memproklamasikan kemerdekaan RI pada tahun 1945, Kartosoewirjo masih ingin Indonesia menjadi negara Islam.

Pada tahun yang sama pula, Kartosoewirjo meminta Kiai Joesoef Taudjiri untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia, namun sang kiai menolak. Penolakan kembali terjadi ketia ia meminta untuk kedua kalinya pada tahun 1948.

Pada tahun 1949, tepatnya di tanggal 7 Agustus, Kartosoewirjo memproklamasikan NII di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kabupaten Tasikmalaya.

Dalam NII, Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam dan panglima tertinggi. Sementara, Karman ditunjuk sebagai komando divisi dan wakil imam.

Diburu sebagai pemberontak

Pembentukan NII tentu tak dibiarkan pemerintah Indonesia. Kartosoewirjo diburu dan dianggap sebagai pemberontak.

Kartosoewirjo juga membentuk organisasi sebagai kendaraan NII bernama Darul Islam (DI) dan tentara bernama Tentara Islam Indonesia (TII).

Munculnya serangan DI/TII dimulai di Pulau Jawa dan Sumatra, ternyata menimbulkan kecurigaan dalam tubuh pemerintah. Negara menganggap ulama melindungi DI/TII. Sementara, kecurigaan itu juga terjadi di kalangan ulama.

Guna meredam rasa kecurigaan tersebut, dibentuklah Badan Musyawarah Alim Ulama yang seiring berjalannya waktu menjadi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Tujuan Badan Musyawarah Alim Ulama juga untuk memonitor gerakan DI/TII sekaligus membantu menumpasnya.

Usaha Kartosoewirjo untuk membentuk NII gagal.

Pada 4 Juni 1962 Sang Panglima Tertinggi DI/TII tertangkap. Beberapa bulan setelahnya Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) mengadili Kartosoewirjo dan mengatakan ia adalah pemberontak dan mendapat hukuman mati.