LBH PP GP Ansor Bela Sopir & Kernet Soal Kasus Anak Beruang Madu, Ternyata Ini Alasannya

Potret Fendy Ariyanto, S.H., M.H selaku Penasihat Hukum Terdakwa
Sumber :
  • Istimewa

SiapSopir dan Kernet yang berinisial RN (19) dan MH (20), harus menghadapi proses hukum lantaran membawa se-ekor hewan yang dilindungi yakni beruang madu.

GP Ansor Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir di Sukabumi

Saat ini keduanya sudah ditahan selama 3 (tiga) bulan di Rumah Tahanan Negara kelas 1 Jakarta Pusat dan sedang dalam menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Perkara tersebut terregister dengan nomor perkara 678/Pid.B/2024/PN. Jkt.Brt.

Rapatkan Barisan, Ansor Depok Gelar Silaturrahmi Lintas Generasi

Awalnya, RN yang bekerja sebagai sopir travel mengajak MH untuk berangkat ke Jakarta, dengan membawa 3 (tiga) orang penumpang dan barang-barang lainnya termasuk juga titipan se-ekor hewan beruang madu.

Pada saat di jalan Tol daerah Slipi Jakarta Barat terdapat pemeriksaan polisi lalu lintas, sehingga keduanya ditangkap dan diamankan oleh pihak yang berwajib karena kedapatan membawa se-ekor anak beruang madu.

Dokter Muda Dipukuli Sopir Orang Tua Koas Gegara Tak Terima Dapat Jadwal Jaga Akhir Tahun

Saat ini proses hukum sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan telah masuk pada tahap pembelaan.

Dalam persidangan sebelumnya, keduanya dituntut oleh Penuntut Umum masing-masing 2 (dua) tahun Penjara dan denda Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).

Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan Penuntut Umum melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan atau Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam proses persidangan, Fendy Ariyanto, S.H., M.H selaku Penasihat Hukum Terdakwa menghadirkan Ahli Pidana Dr. Albert Aries, S.H., M.H, Pengajar FH Trisakti & Anggota Tim Ahli KUHP Baru, yang memberikan pendapatnya yakni jika tidak dapat dibuktikan adanya kesengajaan, meeting of mind, dan kerjasama erat dari Terdakwa untuk mewujudkan delik dan melakukan penyertaan tindak pidana dengan pelaku lainnya.

Tentunya Terdakwa tidak dapat dimintai pertanggunjawaban Pidana.

Ahli juga menyampaikan jika dalam perkara a quo terdapat kesesatan fakta, misalnya jika Terdakwa benar-benar tidak mengetahui jika se-ekor hewan yang diminta pelaku lainnya untuk dibawa merupakan hewan yang dilindungi, maka berlaku asas ignorantia facti excusat yaitu ketidaktahuan terhadap fakta menjadi alasan penghapus pidana di luar KUHP karena tidak ada kesalahan sama sekali (AVAS).

"Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan dan disetujui atas dasar kesesatan fakta (error factie) dapat dimaafkan dan tidak perlu dipidana," katanya.

Dr. Albert Aries juta berpesan agar aparat penegak hukum tidak menegakkan UU Tindak Pidana Administrasi secara berlebihan yang justru akan melahirkan ketidakadilan itu sendiri (summum ius summa iniura).

Perlu diketahui, RN dan MH sebelumnya juga tidak pernah melakukan tidak pidana, namun karena keterbatasan pengetahuannya mengenai hewan yang dilindungi sehingga menjadikan dirinya terjerat hukum.

Alih-alih keduanya bermaksud untuk membantu perekonomian keluarga, namun akhirnya harus berhadapan dengan hukum, meskipun keduanya tidak ada niat untuk melakukan tindak pidana atau berbuat jahat.

Hal ini terbukti di persidangan jika kedua terdakwa tidak ada kaitan dan tidak terbukti memiliki hubungan langsung dengan penjual atau pembeli (pelaku utama) dari se-ekor hewan beruang madu yang dibawanya.

Sehingga berdasarkan fakta persidangan, LBH PP GP Ansor menilai, lanjut Fendy, para terdakwa tidak ada secara khusus memiliki niat jahat dan rencana untuk bekerja sama dengan pelaku utama lainnya, termasuk pembagian peran untuk mencapai tujuan perbuatan yg didakwakan, oleh karenanya dakwaan Penuntut Umum menjadi tidak terbukti.

"Perbuatan para Terdakwa mestinya dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi (administrative penal law) dimana upaya pidana itu mestinya menjadi upaya yang terakhir (ultimum remedium), artinya sanksi pidana harus menjadi upaya terakhir yang digunakan setelah sanksi-sanksi lain dipergunakan," ungkapnya.

Dikarenakan terdapat juga fakta bahwa lembaga pemasyarakatan mengalami overcrowding kapasitas warga binaan.

Maka upaya-upaya pemenjaraan semestinya bisa dihindari, karena dalam perkara a quo juga tidak ada korban yg dirugikan (victimless crime).

"Kami telah menyampaikan Pledoi/Nota Pembelaan untuk terdakwa, selanjutnya kami berdoa dan berharap Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus Perkara ini memgedepankan Objektifitas, Konteks, dan Keadilan Subtantif yang melekat pada diri Terdakwa sehinga permohonan kami dapat dikabulkan," Pungkas Fendy.