Ini yang Jarang Diketahui Masyarakat tentang Bung Tomo
- Dok/Keluarga
Siap – Pertempuran Surabaya 10 November 1945 tidak bisa terlepas dari sosok Sutomo atau Bung Tomo. Arek Suroboyo yang juga seorang wartawan itu menyerukan warga Surabaya untuk melawan pendudukan kembali Belanda lewat tentara Sekutu. Pemberani dan pantang menyerah itulah karakter Sutomo semasa hidupnya.
Kisah perlawanan Bung Tomo terhadap penjajah selalu dikenang dalam sejarah Indonesia. Selain berhasil menyampaikan berita lewat media, ia juga terjun langsung mengajak rakyat Surabaya untuk mengusir penjajah. Aksi perlawanan dan pidato heroiknya pada 10 November 1945 diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Dikutip dari Biografi Pahlawan Nasional, Sutomo dikenal dengan nama Bung Tomo, Lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920. Ayahnya adalah Kartawan Tjiptowidjojo dari keluarga kelas menengah.
Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sementara ibunya pernah menjadi distributor lokal perusahaan mesih jahit.
Masa kecilnya dihabiskan di kota kelahirannya. Setelah mengikuti jenjang pendidikan dasar, ia masuk pendidikan sekolah pertama di MULO.
Pada usia 12 tahun, ia sempat keluar dari sekolahnya dan bekerja kecil-kecilan. Namun, setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya di HBS lewat korespondensi, tapi tak pernah lulus secara resmi.
Setelah itu, Sutomo bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Di sini ia seolah mendapatkan pendidikan pengganti pendidikan formal.
Ia mendapatkan kesadaran nasionalisme dan perjuangan dari kegiatan kepanduan ini.
Memasuki usia 17 tahun, ia meraih tingkat Pandu Garuda di KBI. Dengan pangkat tersebut, ia mulai dikenal oleh banyak orang.
Sutomo menunjukkan kepeduliannya kepada bangsa. Selain aktif di kepanduan, ia juga terlibat dalam dunia menulis.
Pada usia yang masih muda tersebut, ia menjadi jurnalis lepas pada Harian Soeara Oemoem (Suara Umum -EYD).
Setahun kemudian, pada usia 18 tahun ia menjadi redaktur Pembela Rakyat. Pada tahun 1939, saat usia 19 tahun, ia menjadi jurnalis dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres.
Selanjutnya, tiga tahun kemudian, ia bekerja di kantor berita Antara, bagian bahasa Indonesia untuk weilayah Jawa Timur.
Pada usia 25 tahun, Bung Tomo menjadi kepala kantor berita Antara di Surabaya. Pada saat Indonesia merdeka, ia memberitakannya dalam bahasa Jawa agar tidak kena sensor oleh penjajah Jepang.
Selain sebagai jurnalis, semangat perjuangan sebagai aktivis kemerdekaan masih membara di dalam dadanya. Pada tahun 1944, ia terpilih ia sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru, dan pengurus Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya. Patriotisme Bung Tomo mulai terlihat secara luas saat peristiwa 10 November 1945.
Ia menggelorakan rakyat Indonesia, khususnya yang berada di Surabaya, untuk melawan penjajah Inggris yang ingin merebut kembali Indonesia.
Bung Tomo berorasi lewat radio untuk membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia. Peristiwa itu, 10 November 1945, kemudian dijadikan sebagai hari Pahlawan Nasional.
Lima tahun setelah kemerdekaan RI, Bung Tomo menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata, Menteri Sosial Ad Interim di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.
Karier Bung Tomo di panggung politik timbul tenggelam. Kadang mesra dengan penguasa, kadang bersebelahan. Pada awal-awal Orde Baru, 1978, ia ditahan oleh pemerintah karena kritikannya. Setahun kemudian, ia dibebaskan.
Setelah bebas, cita-cita politiknya masih menggebu, tapi Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.
Bung Tomo tak mau mengangkat-angkat perannya saat kemerdekaan. Ia lupakan dan berkonsentrasi untuk keluarga dan anak-anaknya. Ia pun berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.
Pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah saat menunaikan ibadah haji di Arab Saudi. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Bung Tomo meninggalkan teladan dan heroisme dalam membela bangsa dan negara untuk mempertahankan kemerdekaan. Sosoknya dianggap sebagai legenda Arek Suroboyo dan dianugerahi pahlawan oleh Pemerintah Indonesia.