Pasir Laut Nebeng Ekspor Kebijakan Pembersihan Sedimentasi Lautnya Jokowi

Ilustrasi pasir laut
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika ditanya wartawan di Gedung Danareksa hari Selasa (17/9/2024) lalu soal kebijakan ekspor pasir laut, telah membantah kalau Indonesia membuka ekspor pasir laut.

Lembaga Kajian Nawacita Ungkap Cara RI Keluar dari Krisis Likuiditas Akibat Rusia vs Ukraina

"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya, yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal, tapi sedimen itu pasir laut," kata Jokowi.

Pernyataan Presiden Jokowi di atas patut disesalkan, lantaran terkesan tidak jujur pada rakyat karena menutupi motif di balik kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. 

Budi Arie Seret Nama Jokowi dalam Pusara Kasus Judi Online?

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Selasa (24/9/2024) di Jakarta. 

"Meskipun banyak ahli lingkungan dan organisasi lingkungan menyatakan kegiatan pembersihan hasil sedimentasi laut itu akan merusak ekosistem pesisir dan laut serta lebih banyak mudharatnya bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan, tampaknya Pemerintah tetap tak bergeming,” kata Yusri.

Gerindra Buka Suara Usai Jokowi Dukung Pasangan Ridwan Kamil dan Suswono Pada Pilgub Jakarta

Belum lagi, lanjut Yusri, di sedimen pasir laut itu terkandung juga banyak mineral-mineral berharga seperti timah dan logam tanah jarang atau rare earth yang sangat langka di dunia. 

“Sebab terminologi Pengelolaan Sedimentasi di Laut pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 pada dasarnya diduga hanya ingin mengaburkan pemahaman rakyat terhadap maksud dan tujuan utamanya mengeksplotasi pasir laut untuk diekspor ke Singapore,” katanya.

Jadi, kata Yusri, alasan hasil pembersihan sedimentasi laut untuk kesehatan laut dan diprioritaskan untuk kebutuhan reklamasi dalam negeri tercukupi, barulah boleh diekspor itu adalah narasi menyesatkan.

“Jika kita kilas balik menelusuri latar belakang munculnya kebijakan ini, berawal ketika Menteri KKP masih dijabat oleh Edy Prabowo. Saat Itu tepatnya 30 Juni 2020, Dirjen Penataan Ruang Laut (PRL) KKP, Aryo Hanggono  telah bersurat kepada CEO Jurong Town Corporation (JTC) Singapore, sebuah badan yang bertanggungjawab melakukan reklamasi di Singapore,” katanya.

Yusri mengungkapkan, perundingan saat itu terkendala akibat berjangkitnya wabah Covid 19 di seluruh dunia. 

Aryo Hanggono meninggal dunia akibat Covid19 dan jabatannya digantikan oleh Victor Gustaaf Manoppo sebagai Dirjen PRL dan Menteri KKP dijabat Wahyu Sakti Trenggono karena Edy Prabowo ditangkap KPK.

“Jadi rencana tersebut dilanjutkan dengan membuat payung hukum berupa PP yang sempat terkendala dalam proses harmonisasinya antara KKP dengan Ditjen Minerba KESDM dan Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, hanya karena soal tarik-menarik kewenangan,” katanya.

Soal tarik menarik dalam harmonisasi PP 26/2023 itu, lanjut Yusri, bahkan sempat terucap oleh Presiden Jokowi di hadapan Pimpinan Redaksi Media pada Senin (29/5/2023) malam di Istana Negara.

“Terbukti ketika PP 26/2023 baru ditandatangani Presiden Jokowi pada 15 Mei 2023, KKP langsung melakukan sosialisasi pertama di Jogya pada 25 Mei 2023,” katanya.

Menjawab derasnya kritik publik atas kebijakan ekspor pasir laut, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Kementerian Perdagangan hanya menjalankan PP 26 tahun 2023, menurut Yusri.

Adapun perusahan swasta yang diundang pada acara sosialisasi pertama di Jogya saat itu, yakni PT Boskalis International Indonesia, PT Van Oord Indonesia, PT Penta Ocean Indonesia, PT Idros Service dan PT Dredging International Indonesia.

“Kelima perusahaan dredging tersebut adalah mitra terdaftar di JTC Singapore. Dugaan kami setidaknya perusahan lokal yang bermitra dengan kelima perusahaan dredging itulah yang akan diberikan izin pembersihan sedimentasi laut oleh KKP,” katanya.

Lebih lanjut Yusri mengutarakan, sedimentasi itu adalah proses terjadinya pengendapan material pada lingkungan pengendapannya, produk sedimentasinya adalah batuan sedimen yang (menurut skala Wentworth 1922) bercampur antara batuan ukuran kasar (kerakal, kerikil, pasir) hingga berukuran halus (lanau hingga lempung/lumpur) dengan biota laut.

“Sumber material pembentuk sedimen itu bisa berasal dari darat maupun berasal dari laut sendiri, yaitu berasal dari aktifitas vulkanik di bawah laut dan biota laut yang sudah mati,” katanya.

Menurut Yusri, pelapukan batuan dan erosi di darat yang dibawa oleh media sungai dan erosi pesisir pulau-pulau juga merupakan sumber utama material sedimentasi di laut, selain biota laut dan aktivitas vulkanik di laut.

“Perairan Indonesia merupakan pertemuan arus laut yang berasal dari beberapa samudra yang mengelilingannya, beruntungnya di perairan Indonesia mendapat suplai pasir bersumber dari banyak negara yang tersedimentasikan dengan baik di perairan kita,” katanya.

Sehingga, lanjut Yusri, kualitas pasir laut dari perairan Kepulauan Riau sangat baik karena kandungan pasir halusnya di bawah 15 persen, sehingga sangat cocok untuk kebutuhan reklamasi Singapura.

“Singapura membutuhkan sekitar 5 miliar kubik pasir laut untuk reklamasi dan infrastruktur lainnya. Perairan Kepulauan Riau adalah sumber pasokan yang sangat diharapkan. Lantaran sumbernya dekat dari Singapura, dengan kualitas pasirnya baik untuk reklamasi, maka Singapura sangat berharap dapat sumber pasokan dari Indonesia,” katanya.

Yusri mengutarakan, harga beli pasir laut FOB Singapore sekitar $21 per meter kubik, sehingga ada potensi ekonomi besar bisa diperoleh oleh pemegang izin ekspor sekitar 100 miliar dollar Singapore untuk 5 tahun ke depan.

“Karena potensi cuannya cukup besar, menurut kami tak lebih 10 perusahan paling banyak yang akan diberikan izin pengelolaan sedimentasi lautnya oleh KKP, lainnya hanya sebagai penggembira meskipun katanya sudah 66 perusahan mendaftar di KKP,” katanya.

Yusri menambahkan, pembatasan izin ini sangat mudah dilakukan dengan membuat syarat ketat ketentuan di PP, Permen KKP, Permendag dan Kepmen KKP, karena perusahaan harus memiliki teknologi hisap dalam pembersihan sedimentasi dan memiliki modal kerja yang cukup besar.

“Lagi-lagi oligarki yang dapat izin,” tandasnya.