Perjuangan Bidan Desa di Timur Indonesia Atasi Stunting, Sempat Dianggap Ancaman Para Dukun?

Potret Theresia Dwiaudina Sari Putri
Sumber :
  • Istimewa

Siap –Jerih payah lulusan Diploma 3 Kebidanan STIK Surabaya Theresia Dwiaudina Sari Putri yang kerap disapa Dinny akhirnya berbuah manis setelah bertahun tahun berjuang mengatasi stunting di wilayah sejumlah desa di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kisah inspiratif Dinny yang mengabdikan diri dalam dunia kesehatan tersebut bermula saat ia melamar sebagai pegawai honorer usai lulus sekolah.

Sosok Theresia Dwiaudina Sari Putri, bidan dan pejuang kesehatan dari Desa Kekandere Kecamatan Nangapanda Nusa Tenggara Timur tersebut langsung rutin memeriksa kesehatan ibu hamil di sejumlah desa di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hingga pada tahun 2017, dia dikontrak sebagai bidan di Desa Uzuzozo. Lantaran lokasinya yang terpencil dan akses masuk yang sulit, tak banyak tenaga kesehatan yang mau bertugas di Uzuzozo.

Ketika dia pertama kali datang, semua ibu hamil di Uzuzozo melahirkan dengan bantuan dukun beranak dan sebagian besar anak-anak mengalami stunting.

Namun dengan kegigihannya, Dinny berhasil mendorong perubahan. Saat ini, semua ibu hamil telah memeriksakan kandungan ke bidan dan melahirkan di fasilitas kesehatan.

“Saya sudah enam tahun lebih. Ya jadi kayak perkembangannya memang sudah banyak. Puji Tuhan, mungkin walau waktu itu dengan 5 persen, sekarang saya bisa jamin hampir 85-90 persen," kata Dinny seperti dilansir podcast radio semarang.

"Sudah maintenancenya, siklus kesehatan, SDM masyarakat sudah mulai paham tentang kesehatan, sudah ada falisiatas kesehatan yang mereka perlukan, bahkan pelayanannya kan dari rumah ke rumah, jadi tidak mungkin tidak terjangkau,” ungkapmya.

Atas perjuangannya untuk ibu hamil dan anak, bidan Dinny meraih SATU Indonesia Awards 2023 bidang kesehatan.

Lebih jauh Dinny mengisahkan, saat pertama kali dirinya berkarya di desa nan jauh di sana.

"Sejak 2013 (bertugas di Ende). Saat itu setelah menempuh pendidikan, saya bingung mau bikin apa. Kemudian oleh Kades yang saat itu bingung mencari tenaga kesehatan, saya ditawarkan menjadi bidan desa pertama," katanya.

Fokusnya, kata Dinny, adalah pada kesehatan ibu dan anak, termasuk lanjut usia (lansia), posyandu, bahkan perilaku sosial masyarakat setempat menjadi tugas Theresia, seperti jambanisasi karena masih banyak warga yang buang air besar di sungai.

"Bidan biasanya berkarya di tempat yang bagus, tapi saya berkarya di desa terpencil, sulit menjangkau transportasi, tidak memiliki fasilitas kesehatan (faskes) dan standar sumber daya manusia (SDM) yang masih di bawah," terangnya.

Perjuangan Dinny, cukup dramatis. Bukan hanya persoalan kondisi geografis, dia pun dihadapkan pada tradisi masyarakat yang masih percaya dengan dukun untuk melahirkan maupun pengobatan.

"Perjuangan tujuh tahun tidak mudah, karena biasanya masyarakat jika bersalin ditolong dukun, tidak ada imunisasi, buang air besar masih di sungai. Mereka sulit menerima hal-hal baru, bahkan kehadiran saya dianggap menjadi ancaman, dukun bisa kehilangan lapangan kerja," ungkapnya.

Namun demikian, Dinny mengaku tak peduli seberapa berat langkahnya untuk mengubah kesadaran masyarakat Desa Uzuzozo terhadap fasilitas kesehatan.

Dia melakukan pendekatan, jemput bola memberikan pelayanan kesehatan dari rumah satu ke rumah lain dan selalu siaga 24 jam.

"Saya bekerja sebisa mungkin tidak mengurangi tradisi adat. Saya biasanya mencari jalan tengah untuk solusinya. Misalnya imunisasi anak, kepercayaan mereka kalau anak mereka habis disuntik imunisasi, jarum suntiknya ditancapkan ke pohon pisang biar anak enggak demam.

Selama enggak mengganggu atau bertentangan dengan medis, enggak apa, nanti jarum suntiknya saya cabut dan saya simpan biar enggak dibuat main," paparnya.

"Setiap pasien yang datang dan usai mendapatkan pelayanan kesehatan dari saya, saya minta testimoni. Enak mana di dukun dengan faskes," lanjut Theresia.

Perlahan tapi pasti, kesadaran masyarakat untuk datang ke faskes untuk melahirkan, berobat, imunisasi semakin meningkat.

Dari yang sebelumnya hanya 5 persen masyarakat Desa Uzuzozo yang menganggap pentingnya kesehatan, kini sudah mencapai 85-90 persen.

"Saya senang sekarang mereka semakin sadar ke faskes. Setiap ada dana dari privat sektor juga dipakai buat bikin jamban," katanya.

Setelah saya menang Astra, lanjut Dinny, dirinya jadi viral, cerita sana sini, dikasih panggung buat berbagi kisah inspiratif.

"Saya ingin berkarya di lingkungan yang lebih luas. Saya ingin belajar di lingkup lebih luas, dengan jabatan dan pendidikan yang lebih tinggi," tuturnya.

Meski masyarakat desa setempat sudah semakin sadar tentang pentingnya ke faskes, namun Theresia tak akan berhenti untuk berkarya. Sebab, dia mengaku sangat mencintai pekerjaannya.

"Apakah saya pernah berpikir untuk pergi? Pasti. Tapi saya bisa bertahan karena cinta. Memang terdengar klise, tapi itu faktanya.Saya berkarya tidak setengah-setengah, energi saya 100 persen penuh untuk bekerja. Saya mencintai apa yang saya lakukan saat ini," ujarnya.

Dia berpesan kepada anak-anak muda NTT, khususnya di Sumba Timur untuk memulai niat baik yang sudah terpatri. Membuat program atau kegiatan yang dapat bermanfaat untuk masyarakat dan ikut serta dalam program 15th SATU Indonesia Awards 2024.

"Buat kamu yang merasa kok program saya enggak dilihat, enggak ada balasan dari apa yang kamu lakukan. Merasa enggak punya privilege, enggak ada 'orang besar,' gabung program SATU ini. Astra enggak ada KKN, hanya dibutuhkan talenta, siapkan kemampuan belajar, branding diri, dan fokus apa yang teman-teman buat. Kita akan tuai apa yang kita tabur," pungkasnya.