Ahli Pidana Bongkar 'Dosa' Pengadilan di Kasus Vina Cirebon: Ini Kita Sekolah Hukum Apa Perdukunan?

Sidang PK Saka Tatal kasus Vina Cirebon
Sumber :
  • Tangkapan layar YouTube TV One

Siap – Ahli ilmu hukum pidana, Azmi Syahputra membeberkan sejumlah kejanggalan saat memberikan kesaksian dalam sidang peninjauan kembali (PK) mantan terpidana kasus pembunuhan Vina Cirebon dan Eky. 

Geger, Pengacara Saka Tatal Titin Prialianti Mendadak Diperiksa Bareskrim, Ada Apa?

Dalam keterangannya di Pengadilan Negeri Cirebon, Azmi Syahputra mempertanyakan siapa orang yang mengangkat mayat korban dan siapa yang menggerakan tenaganya. 

Menurutnya, hal itu tidak diungkap secara jelas dalam salinan putusan sidang yang berlangsung pada tahun 2016 lalu.

Tokoh NU Bocorkan Temuan Kapolri soal Kasus Vina Cirebon: Hasilnya Mengejutkan!

"Ini kan adalah satu pengadilan yang sangat tidak manusiawi, karena memang menempatkan orang yang tidak ada tapi tiba-tiba diada-adakan. Ini sangat miris," katanya dikutip siap.viva.co.id dari tayangan Tv Onepada Kamis, 1 Agustus 2024.

Kemudian, dalam sidang PK Saka Tatal, Azmi Syahputra juga membedah isi salinan putusan pada halaman 85. 

Jessica Wongso Ajukan PK Kasus Kopi Sianida ke PN Jakarta Pusat Tepat di Ultahnya yang ke-36

"Saya juga punya catatan untuk itu. Ini juga adalah fiktif dan manipulatif. Halaman 81, fakta hukum dan keyakinan hakim yang begitu yakin ternyata keliru juga terkecoh, akibat dari awal memang dilimpahkan perkara ini dengan perkara yang tidak benar," bebernya.

Karena, kata ahli pidana dari Universitas Trisakti tersebut, hakim bilang sangat berkeyakinan, tapi nyatanya ini hakim akhirnya tidak pada keyakinan yang benar. 

"Majelis hakim saya mengambil selanjutnya pada putusan banding tanggal 2 November tahun 2016, putusan Nomor 50 pitsus 2016 PT (pengadilan tinggi) Bandung, sangat minus sekali pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Bandung 10 baris dari halaman 34 sampai 35," jelasnya. 

Azmi Syahputra menegaskan, dalam putusan itu terlihar, bahwa hakim banding tidak pernah membuat pertimbangan hukum, karena hakim banding hanya mengambil alih menjadi pertimbangan PT. 

"Padahal, pertimbangan hukum di PN (pengadilan negeri) itu diketahui keadaan dan faktanya banyak yang dimanipulatif, banyak orang yang tidak benar, bukti-bukti yang tidak benar, fakta-fakta yang tidak bersesuaian dan sudah bisa lihat bagaimana mungkin nanti akan saya letakkan juga."  

Selanjutnya, Azmi juga membedah pututusan Mahkamah Agung (MA) 2607 kapit 2016 tertanggal 1 Agustus 2017 yang menurutnya juga sama, pertimbangan hukumnya hanya pada halaman 40 sampai 42. 

Menurutnya itu sangat bertentangan antara fakta dan pertimbangan hukum. 

"Malah Mahkamah Agung berdasarkan memori kasasi jaksa itu diambil, antara fakta dan pertimbangan tidak klik, contohnya adalah di sini ada nama

Dani tapi di situ di dalam kasasi dibikin namanya Doni," bebernya. 

Lalu yang kedua adalah adanya pertentangan, tiba-tiba muncul samurai, muncul pisau, padahal tidak ada satu kata pun yang menyatakan ada tusukan di perut korban Vina Cirebon maupun Eky. 

"Tapi tiba-tiba muncul di putusan kasasi halaman 40-42, tidak ada. Jaksa dapat dari mana ini visum repertum yang dilakukan tanggal 27 Agustus 2016? Termasuk visum kedua tanggal 17 Oktober 2016 tidak ada. Siapa ini?" tanya Azmi keheranan.

"Ini kita sekolah hukum apa sekolah perdukunan? Kok dari mana ini asalnya? Jadi penyimpangan-penyimpangan inilah yang saya sebut tadi menjadi pertentangan hukum antar putusan ini ketemu," sambung dia. 

Sepanjang catatan Azmi pada fakta kasus Vina Cirebon dan Eky, ia menyandingkan hal itu karena ada dalam putusan Nomor 3 Tahun 2017 dan putusan Nomor 4 Tahun 2017. Dia menyebutnya splitsing.

"Splitsing adalah karena kesulitan pada umumnya, walaupun adalah kewenangan jaksa karena karakteristik perbuatan pidana itu bisa berbeda-beda, tapi bisa jadi splitsing itu untuk mengikat antara satu saksi dengan saksi yang lain." 

Ia berpendapat, itu karena minimnya alat bukti atau telah terjadi penyimpangan penyidikan di awal. 

"Karena kalau ada sesuatu yang terang ya tidak perlu ada penyimpangan displitsing seperti ini," tuturnya. 

Azmi mengungkapkan, sulitnya saksi-saksi, sulitnya alat bukti yang lain sehingga kasus ini dispitsing. Sehingga keterangan mereka sajalah yang menjadi dasar. 

"Ini terbukti bahwa semuanya mengacunya BAP, sehingga semua tersangka dalam kasus ini atau terdakwa semua dianggap berbelit-belit," katanya. 

Padahal, Azmi berkeyakinan mereka (tersangka) menyampaikan yang sebenar-benarnya, karena mereka diadu antar para tersangka dan para terdakwa.

"Ini lagi-lagi sangat miris putusan-putusan begini. Putusan Nomor 3 Tahun 2017 ini juga, bahkan kita bisa ketahui tidak ada perbuatan pidananya, semua saksi hari ini mencabut bahwa mereka tidur di rumah RT tapi tiba-tiba itu diklaim di tanggal tersebut ada perbuatan pidana," ucap Azmi. 

"Lagi-lagi sangat tidak manusiawi orang yang meletakkan ini. Termasuk Dani menyebarkan SMS, tapi SMS-nya tidak pernah dilihatkan dari handphone siapa dan ini juga tertuang dalam putusan di halaman 160. Nanti mungkin saya kasih dengan majelis hakim," timpalnya lagi.

Termasuk di putusan nomor empat, menurut Azmi ini nampak dari awal mindiknya tidak sesuai. 

"Lalu di putusan nomor empat juga LP-nya ada berapa? Kok tidak ada pertanggungjawaban dan halaman 110 dalam putusan empat ada pertentangan fakta. Andi dan Dani lagi-lagi fiktif," tegasnya. 

Jadi kalau dirangkum dari putusan Saka Tatal masuk putusan nomor empat, semuanya terjadi pertentangan. 

"Yang mulia (hakim), artinya saya ingin menyampaikan dalam kasus ini tidak ada yang bisa disalahkan. Yang mulia bisa khilaf, namanya manusia. Jaksa juga bisa khilaf. Salah, adalah manusiawi tapi mempertahankan kesalahan adalah keliru," kata Azmi.

"Sehingga motivasi seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya, inti perbuatan seorang tersebut ada pada orang yang dengan sengaja mendesain perkara ini agar tidak menjadi manusiawi," sambung dia.