Menguak Catatan Sejarah Keberadaan Suku Kalang, Misteri Manusia Berekor
- https://javaprivatetour.com/
Siap – Seperti dikutip dari catatan sejarah dalam artikel Claude Guillot, rekaman pertama seputar Suku Kalang ditemukan tertulis dalam prasasti yang berasal dari tahun 804 sampai dengan 943 masehi.
Salah satunya berupa ketentuan kawasan bebas pajak (Sima) atau ketua kelompok (Tuha Kalang). Tulisan prasasti itu ditafsirkan Zoetmulder bahwa Suku Kalang terdiri dari golongan yang berprofesi sebagai tukang.
Nama Suku Kalang juga ditemukan dalam Prasasti Tambang tahun 1358 yakni pada Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk. Adanya tugas jasa transportasi dari kalangan Suku Kalang.
Laporan Suku Kalang muncul lagi pada abad ke-17 yaitu ketika Sultan Agung mengeluarkan kebijakan di Mataram. Kebijakan tersebut membuat Suku Kalang meninggalkan kebiasaan hidup nomaden sehingga mulai belajar hidup menetap pada tahun 1663.
Catatan terkait Suku Kalang pada masa Belanda muncul pertama tahun 1675. Laporan itu mengungkapkan keberadaan Suku Kalang di wilayah Rembang dan Pati yang bekerja sebagai penebang pohon.
Catatan yang lebih jelas soal Suku Kalang dalam buku Speelman tahun 1678. Ia menggambarkan Suku Kalang yang bekerja menebang dan mengangkut kayu serta membuat gorab dan kapal perang.
Masih menurut catatan Hindia Belanda diketahui suku Kalang bekerja mengangkut barang-barang milik tentara Hurdt yang pergi berperang menyerang Trunajaya di Kediri sekitar tahun 1679.
Setelah Belanda menguasai pesisir Jawa 1743 sekitar tiga tahun setelah itu VOC mengakui status khusus Suku Kalang sebagai een apart volk atau kelompok tersendiri.
Implikasinya menempatkan Suku Kalang tidak seperti suku Jawa umumnya yang dikenakan pajak badan oleh pemerintah Belada. Pasalnya sebelumnya mereka dibebankan pajak oleh Raja Jawa karena dianggap sebagai orang asing.
Pada masa Daendels berkuasa kewajiban pajak dihapuskan. Daendels memberikan hak kepada Suku Kalang untuk menebang pohon sebagai bahan baku pembuatan gerobak Jawa yaitu cikar dan pedati.
Winter SR 1839 juga menyebutkan Suku Kalang hidup berpindah-pindah, namun sejak abad 17 dan 18 kebiasaan itu berangsur-angsur menghilang, Suku Kalang mulai hidup menetap.
Kecenderungan lain Suku Kalang suka tinggal berkelompok dalam satu kampung atau bermukim dalam wilayah yang saling berdekatan. Kampung atau wilayah Suku Kalang disebut Pekalangan.
Dalam catatan Suku Kalang ada hal menarik yakni jiwa kewirausahaan yang konon disebut mirip etnis Tionghoa dan Arab yang tinggal di Pulau Jawa.
Mitsuo Nakamura mengatakan bahwa besaran kekayaan keluarga suku Kalang sampai saat ini dapat terlihat dengan mudah. Di Kotagede tersebar lusinan rumah besar milik Suku Kalang mirip istana dibangun sekitar dasawarsa abad ke-20.
Salah satunya gedung di bagian timur Sungai Gajah Wong sebuah bangunan dengan dua garasi yang dapat menampung delapan unit mobil dan kandang kuda yang diperkirakan memuat 20 ekor.
Sedangkan dalam catatan Claude Guillot menyatakan pekerjaan suku Kalang lainnya adalah pedagang. Claude Guillot menyebutkan keluarga Kalang bukan hanya berjualan kebutuhan harian seperti sembako, namun lebih banyak lagi seperti usaha penjualan, batik, emas dan berlian.
Dalam laporan Van Mook 1926, Kotagede, Jogjakarta merupakan sentra pasar berlian terbesar di Hindia-Belanda dan itu dikuasai keluarga Suku Kalang. Hasilnya mudah ditebak bahwa keluarga orang Kalang terkenal kaya raya dan memiliki status sosial yang tinggi.
Dari catatan ini dapat dibuat hipotesis bahwa Suku Kalang sebetulnya bukan kelompok asing dan antisosial. Wong Kalang bahkan berhasil menjaga identitas dan karakternya sebagai manusia yang lengkap.