Babak Belur Kabinet Jokowi: Antara Etika dan Elektabilitas
- Istimewa
Siap –Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo kembali diterpa isu miring.
Melalui Kanal youtube siapviva x opini tempo Mundurnya Mahfud MD dari kursi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mendampingi Ganjar Pranowo sebagai calon wakil presiden membuka kotak pandora tentang babak belurnya kabinet akibat pertarungan elektoral.
Alih-alih menjaga etika dan netralitas, pertimbangan elektoral menjadi alasan utama menteri untuk hengkang atau bertahan di kabinet.
Mundurnya Mahfud menjadi contoh ideal, di mana ia mengikuti aturan dan menjaga etika dengan mundur demi fokus pada pencalonannya.
Namun, tak semua menteri mengikuti jejak Mahfud.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga maju sebagai calon presiden, masih betah di kursi menterinya.
Begitu pula menteri-menteri lain yang terang-terangan mendukung calon presiden tertentu, seperti Ida Fauziah , Airlangga Hartarto , Zulkifli Hasan, dan Pramono Anung .
Sikap Jokowi yang membolehkan pemerintah dan dirinya memihak dalam kontestasi politik semakin memperparah situasi.
Keputusan ini, meskipun berdasarkan UU Pemilu yang tak lengkap, membuka celah bagi politisi untuk memanfaatkan fasilitas negara demi kepentingan elektoral.
Kabinet Jokowi kini tak ubahnya arena pertarungan elektoral, bukan organisasi yang menjalankan tugas negara.
Mundur atau tidaknya menteri bukan lagi soal komitmen etik, melainkan strategi jangka pendek untuk mendongkrak elektabilitas.
Alih-alih fokus pada tugasnya, kabinet Jokowi sibuk dengan kalkulasi politik dan kepentingan elektoral.
Hal ini menyebabkan pemerintahan menjadi tidak efektif dan menghambat kemajuan bangsa.
Hingga akhir masa pemerintahan Jokowi pada Oktober mendatang, tampaknya publik tak bisa berharap banyak.
Kabinet Jokowi akan terus terjebak dalam pusaran politik dan kalkulasi elektoral jangka pendek.