KLHK Dorong Percepatan Rehabilitasi Lahan Kritis di Pulau Jawa, Ini Sebabnya
- Istimewa
Siap – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, Indonesia tengah menghadapi tiga krisis global yang tentu saja berdampak cukup serius.
Hal itu mulai dari perubahan iklim dengan kenaikan suhu, variabilitas iklim dan cuaca ekstrem biodiversity loss dengan menurun, hingga hilangnya keanekaragaman hayati (kehati).
Terkait hal itu, pemerintah saat ini telah menetapkan target aksi ketahanan iklim pasca 2020 dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional, melalui submisi dokumen NDC dan penetapan peta jalan mitigasi.
Tujuannya, tak lain sebagai pedoman dan acuan dalam implementasi NDC yang memuat 5 sektor pengemisi.
Yakni, sektor energi, sampah, industri, pertanian serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.
Pernyataan tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk 'Kick Off dan Sosialisasi Sub Nasional Folu Net Sink 2030', yang berlangsung di IICC Botani Square, Bogor, Jawa Barat pada Selasa, 6 Februari 2024.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Hanif Faisol Nurofiq menegaskan, untuk mengatasi persoalan tersebut pemerintah saat ini terus mempercepat penurunan emisi gas rumah kaca.
Utamanya dengan terbitnya Keputusan Menteri KLHK Nomor: SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.
Hanif menjelaskan, Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 merupakan upaya dan target yang ingin dicapai Indonesia, dengan sasaran penyerapan emisi GRK akan seimbang atau melebihi pada tahun 2030 dengan target -140 juta ton CO2e.
"Itu dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan," katanya.
Hanif juga menyinggung ihwal Pulau Jawa memiliki kekhususan dibandingkan dengan pulau lainnya.
Menurut dia, penyebabnya tak lain karena kondisi vegetasi, kondisi tutupan lahan, daya dukung dan daya tampung, kepadatan penduduk.
"Luas daratan di Jawa adalah kurang lebih 13,3 juta hektar dengan prosentase jumlah kawasan hutan dan APL masing-masing adalah 23 persen dan 77 persen, tutupan vegetasi di Jawa didominasi oleh hutan tanaman dan hutan rakyat," jelasnya.
Data penutupan lahan di atas menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Pulau Jawa sangat dinamis dan dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk yang cenderung meningkat, sehingga dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan.
"Untuk itu, pengaturan pemanfaatan lahan yang optimal melalui pendekatan daya dukung dan daya tampung perlu dilakukan agar keberadaan lahan tersebut dapat menampung dan mendukung kehidupan di dalam lahan tersebut," sambung Hanif.
Sementara itu, menurut Ananda Tohpati yang juga Tokoh Green Leader Indonesia mengungkapkan bahwa region Jawa memainkan peran sangat penting dalam upaya mempercepat pencapaian target FOLU Net Sink 2030.
Maka dari itu, menurutnya perlu ada penyesuaian kriteria penentuan lokasi aksi mitigasi yang sesuai dengan tipologi permasalahan di region Jawa.
Dia mengungkapkan, bahwa Pulau Jawa mempunyai potensi areal lahan kritis dan sangat kritis masing-masing sebesar 16 persen dari total kawasan sehingga fungsi sebagai unsur produksi dan pengatur tata air menjadi menurun.
"Kondisi tersebut menyebabkan Pulau Jawa rentan terhadap bencana hidrologis dan krisis pangan," kata pria yang juga aktivis lingkungan tersebut.
Berkaitan dengan perbaikan tata kelola hutan dan lingkungan, lanjut Ananda, perlu adanya daya dukung dan daya tampung (DDDT) pangan.
"Ini bisa menjadi salah satu focus dan pertimbangan dalam menetapkan langkah-langkah strategisnya," kata dia.
Ananda juga menyampaikan, bahwa karakteristik wilayah region Jawa mempunyai potensi tinggi untuk berkontribusi dalam aksi mitigasi peningkatan emisi GRK.
Hal ini didukung dengan keberadaan area konservasi, area konsesi/produksi, kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDPK) dan hutan mangrove di region Jawa.
"Punya potensi kontribusi tinggi dalam peningkatan cadangan karbon.".
Senada dengan iotu, Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono menyebut, hutan lindung dan hutan konservasi di Pulau Jawa yang luasnya berkisar 1,4 juta hektar merupakan penyangga kehidupan.
Fungisnya untuk pengatur tata air dan memiliki peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati.
"Jumlah lahan kritis yang relatif luas perlu segera direhabilitasi sehingga potensi penyerapan karbon cukup besar di Pulau Jawa," katanya.