Tragedi Geger Pecinan dan Upaya Kolonial Membantai Etnis Tionghoa
- Dok/Wiki Commons
Siap – Selama penguasaan VOC, pemerintah Belanda melakukan tindakan represi terhadap etnis Tionghoa. Geger Pecinan termasuk salah satu peristiwa berdarah yang membuat etnis Tionghoa dihabisi oleh VOC.
Peristiwa yang bermula dari motif ekonomi tersebut kemudian berubah menjadi perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC.
Dihimpun dari berbagai sumber, Geger Pecinan berlangsung pada pertengahan abad ke-18 dan berlangsung di Batavia yang kini menjadi Jakarta.
Geger Pecinan merupakan peperangan besar-besaran antara etnis Tionghoa dengan VOC. Dinukil dari Kronik Sejarah Indonesia, peristiwa tersebut bermula pada bulan Oktober hingga November 1740.
Geger Pecinan oleh beberapa sejarawan disebut sebagai Tragedi Angke. Dalam peristiwa ini, diperkirakan lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa menjadi korban pembantaian di bawah restu Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.
Penyebab utama Geger Pecinan atau Tragedi Angke tidak terlepas dari faktor sosial ekonomi yang sedang berlangsung di Batavia pada masa itu.
Sebagai penguasa VOC melakukan penerapan pajak yang tidak adil dan memberatkan.
Berawal dari krisis ekonomi Latar belakang peristiwa Geger Pecinan diawali oleh krisis ekonomi dan politik yang menimpa koloni VOC di Batavia pada akhir abad ke-17.
Batavia, yang kala itu menjadi pusat imperium perdagangan VOC, banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara, termasuk pedagang Cina.
Pada 1690, VOC mulai meningkatkan kuota bagi imigran Tionghoa yang datang untuk menguatkan ekonominya. Lambat-laun, imigran Tionghoa yang resmi dan ilegal justru dijadikan objek pemerasan VOC.
Tercatat pada 1696, VOC menerapkan pajak 15 ringgit untuk setiap orang Tionghoa yang datang. Kebijakan tersebut dirasa berat, karena sebelum kedatangan VOC, para imigran dapat berniaga bebas dengan penduduk Nusantara.
Alhasil VOC mau mengendurkan aturan imigrasi bagi orang Tionghoa dan menaikkan kuotanya.
Pada 1719, catatan resmi VOC mengungkap bahwa telah ada 7.550 pemukim Tionghoa di Batavia.
Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 35 persen dari keseluruhan penduduk Batavia saat itu.
Memasuki tahun 1738, keadaan kas VOC semakin memprihatinkan karena harga rempah di pasaran jatuh.
Selain itu, muncul persaingan komoditas kopi dengan EIC, kongsi dagang Inggris yang berpusat di India.
Untuk mengisi kas VOC, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan kebijakan di mana para imigran Tionghoa diwajibkan memiliki permissie brief, yang dapat ditebus dengan biaya dua ringgit.
Dalam sensus VOC tahun 1739, tercatat ada 10.574 pemukim Tionghoa di Batavia.
Namun, angka sebenarnya diyakini lebih tinggi, mengingat banyaknya imigran gelap yang bermukim di dalam kota ataupun di sekitar Tangerang-Bekasi.
Saat situasi ekonomi di Batavia semakin buruk karena surutnya pamor bisnis gula sebagai komoditas ekspor, VOC mulai merazia etnis Tionghoa secara besar-besaran.
Pada Februari 1740, sekitar 100 orang Tionghoa di Tanjung Priok dan Bekasi ditahan oleh VOC. Ancaman deportasi ke Sri Lanka Razia yang dilakukan VOC membuat orang-orang Tionghoa resah dan mulai mempersenjatai diri.
Terlebih lagi, saat itu ancaman wabah penyakit tengah menghantui Batavia. Hubungan antara keduanya menjadi semakin buruk saat sekelompok orang Tionghoa mencoba membebaskan tahanan dari penjara.
Pada Juli 1740, razia kembali dilakukan. Namun, kali ini ditujukan kepada orang Tionghoa yang dipandang mencurigakan dan membahayakan keamanan publik.
Selain itu, orang Tionghoa yang menganggur akan segera dibuang ke Sri Lanka, koloni VOC yang dijadikan tempat pembuangan. Bahkan bangsawan Nusantara seperti Pangeran Mangkunegara juga dibuang ke tempat tersebut.
Akibat tindakan sewenang-wenang VOC, penduduk Tionghoa semakin resah dan berani melawan.
Pada September 1740, lebih dari 1.000 orang Tionghoa bergerombol di pabrik gula Gandaria (kini kawasan Jakarta Selatan).
Nama tokoh Cina yang melawan VOC di Batavia adalah Kapitan Sepanjang alias Tay Wan Soey.
Orang Tionghoa dilucuti haknya Akibat gerakan dari etnis Tionghoa tersebut, kondisi keamanan di Batavia dianggap gawat darurat.
Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan Gustaaf Baron van Imhoff sempat menemui Kapitan Sepanjang untuk berunding, tetapi ditolak. Malahan, pada 7 Oktober 1740, etnis Tionghoa berani menyerang pos-pos VOC di berbagai titik hingga menewaskan 16 serdadu Belanda.
Keesokan paginya, VOC langsung memberlakukan jam malam, melarang penggunaan lampu, serta melucuti senjata yang dimiliki etnis Tionghoa.
Apabila menolak atau melawan, maka VOC akan langsung menembak mati orang-orang Tionghoa yang membangkang.
Serangkaian peristiwa itulah yang pada akhirnya memicu kekacauan hingga pembantaian etnis Tionghoa, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Geger Pecinan 1740.
Hingga kini Geger Pecinan dianggap sebagai salah satu bukti perlawanan etnis Tionghoa terhadap penjajahan Belanda dan juga sebagai keterlibatan perjuangan Tionghoa Indonesia dalam melawan kolonialisme.