Kritik Simbolik Raden Saleh untuk Gubernur Jenderal Daendels dan Jalan Raya Pos
- www.rijksmuseum.nl
Siap – Air muka lelaki setengah baya tersebut tampak tegas dengan alis tebal meruncing di ujung, jambang lebar menjuntai, sorot mata biru tenang, hidung fleshy, serta pipi merah kesumba menghias kulit putih kebanyakan orang Eropa.
Ia mengenakan pakaian dinas pejabat militer Republik Bataaf berwarna hitam pekat berbulu tebal, berbubuh sulaman benang emas motif dekoratif gaya victoria dengan elemen organik, seperti daun, bunga serta sulur meliuk di leher sampai dada.
Dari punggung hingga dada berselempang selembar kain selendang biru, mencangkung medali bintang delapan di dada sebelah kiri tanda Orde Kerajaan Belanda dari Louis Napoleon, dan salib enamel putih tanda Legiun Kehormatan Perancis (legiun d`honneur).
Sosok tegas dengan pakaian kebesaran di kanvas tersebut dikenal sebagai Tuan Besar Guntur, Gubernur Jenderal Hindia Timur (1808-1811) Herman Willem Daendels.
Lukisan bertajuk 'Gouvernour-generaal Daendels en de Grote Postweg' atau 'Gubernur Jenderal Daendels dan Jalan Raya Pos' karya pelukis Raden Saleh Sjarif Bustaman, tak semata melukis potret Sang Marsekal Galak, melainkan kritik simbolik terhadap praktik kolonial di Hindia.
Raden Saleh menempatkan HW Daendels di tengah bidang kanvas dengan pakaian kebesaran lengkap menggambarkan kekuasaan kolonial.
Telunjuk tangan kirinya menuding peta bagian Megamendung, antara Bogor dan Cianjur, puncak tertinggi serta lokasi tersulit selama pembangunan Jalan Raya Pos dengan korban jiwa sebanyak 500 buruh Jawa.
Sementara, tangan kanannya menggenggam sebuah teleskop. "Instrumen presisi, kemahatahuan, dan jarak," tulis Katherina Achmad pada Kiprah, Karya, dan Misteri Kehidupan Raden Saleh, Perlawanan Simbolik Seorang Inlander.
Teropong merupakan simbol Daendels sebagai penguasa leluasa memantau dari kejauhan pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, lalu mengutus mandor bila terjadi masalah di lapangan.
Di belakang HW Daendels, Raden Saleh menampilkan panorama 'megaproyek' Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sepanjang lebih-kurang seribu kilometer, selama dua tahun (1808-1810), dengan memakan korban 12.000 jiwa.
Raden Saleh tercatat melukis Daendels sebanyak tiga kali.
Pertama, pada 1838, ia melukis 'Tuan Guntur' dari hasil membidik tajam miniatur HW Daendels karya seniman Prancis, SJ Rochard.
Ia cermat melihat garis, lekukan, dan perbandingan ukuran miniatur. Melahap sisi demi sisi.
Belum puas. Ia lantas meminta sebuah seragam marsekal Prancis dari masa Napoleon untuk dikirim ke Den Haag, tempat ia menempuh pendidikan magang seni di bawah asuhan Cornelis Kruseman.
Raden Saleh mendapat tugas dari pemerintah Belanda di Den Haag, melukis potret tiga gubernur jenderal yang wajahnya secara resmi belum terpampang di Landsverzameling Schilderijen (galeri gubernur jenderal di Batavia).
Kedua, ketika Raden Saleh bertugas sebagai pelukis resmi Kerajaan Belanda.
Ketiga, ia membuat miniatur lukisan Daendels menggunakan cat minyak di atas kanvas ukuran 47 x 41 sentimeter, pada 1854.
Gaya lukisan Raden Saleh sebagaimana pelukis Eropa abad 19, meniti aliran romantik membuat peristiwa-peristiwa monumental, kemudian ditaja seolah dramatis pada setiap adegan.
Lantas menyelipkan realitas pahit praktik kolonial, terutama pada pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan.