Agus Rahardjo ex Ketua KPK Diserang Habis-habisan oleh Jokowi: Teriak Hentikan
- Youtube kompas tv
Siap –Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, membagikan pengalamannya yang mengejutkan saat dihadapkan pada Presiden Joko Widodo terkait kasus megaproyek KTP Elektronik (E-KTP).
Dalam wawancara eksklusif dikutip Siap Viva dari Kompas TV pada Kamis malam, Agus menceritakan detik-detik ketika dipanggil sendirian oleh Jokowi, tanpa kehadiran empat komisioner KPK lainnya.
"Saya terus terang pada waktu kasus E-KTP saya dipanggil sendirian oleh Presiden. Saya heran biasanya memanggil berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan," ujarnya.
Di ruang pertemuan tersebut, suasana langsung memanas begitu Agus memasuki ruangan.
"Di sana begitu saya masuk, presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak 'Hentikan'," tambahnya.
Agus mengaku awalnya bingung dengan makna kata 'hentikan' yang diucapkan Jokowi. Namun, dengan waktu, ia menyadari bahwa Presiden ingin menghentikan pengusutan kasus E-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.
"Saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang suruh hentikan itu adalah kasus Setnov, ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus E-KTP," ungkapnya.
Meski mendapat perintah untuk menghentikan kasus tersebut, Agus menegaskan bahwa ia tidak menuruti instruksi Jokowi.
Ia menjelaskan bahwa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) telah diterbitkan, dan sebagai Ketua KPK, tugasnya adalah menjalankan proses hukum tanpa intervensi eksternal.
"Saya bicara apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan 3 minggu yang lalu, saat itu di KPK tidak ada SP3, tidak mungkin saya memberhentikan itu," tegas Agus.
Kasus E-KTP sendiri berawal dari rencana Kemendagri pada tahun 2009 untuk mengajukan anggaran penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP).
Proyek ini menghadapi berbagai kendala, termasuk dugaan penggelembungan dana dalam lelang e-KTP pada tahun 2011.
KPK kemudian mengungkap kongkalingkong sistemik yang melibatkan berbagai pihak, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.
Sejumlah tersangka, termasuk Setya Novanto dan beberapa pejabat terlibat, sudah diproses hukum dan divonis bersalah dalam perkara ini.