Firman Hukum Nusantara Duga Pembebasan Lahan Terminal Barang Entikong ada Korupsi
- Istimewa
Siap – Firma Hukum Nusantara menduga kuat adanya praktek yang berindikasikan tindak pidana korupsi (Tipikor) terkait proyek pembebasan lahan Terminal Barang Internasional (TBI) Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Menurut Kuasa hukum pemilik lahan Edward L Tambunan yang menuturkan dugaan kuat ini terungkap di persidangan sengketa lahan TBI Entikong yang menghadirkan sejumlah saksi.
" Kenapa kita duga ini ada Tipikor, karena kita duga kuat ada praktek mark up luas lahan yang di bebaskan menggunakan uang negara, kita tahu anggaran pembebasan lahan untuk TBI Entikong sebesar Rp 8,3 Miliar, silakan pihak berwenang untuk selidiki kasus ini,"ujar Edward L Tambunan pada Rabu 14 Agustus 2024.
Dikatakannya lagi, "Sementara fakta dilapangan per SPT hanya di bayar Rp 30 juta, hanya 3 SPT di bebaskan itu pun ada mark up luas lahan, seharusnya untuk lahan lokasi TBI Entikong sekarang ini ada 4 SPT harus dibebaskan, karena inilah yang kita menduga kuat adanya terjadinya tipikor yang diantaranya penyalahgunaan wewenang dan mark up oleh sejumlah pejabat berwewenang," ujarmya.
Edward juga mengatakan, hal ini diperkuat dengan kesaksian dari Notaris yang membuat akta peralihan hak lahan yang digunakan untuk pembangunan TBI Entikong, karena kehadiran Notaris tersebut menjadi bukti bahwa adanya permasalahan dalam proses administrasi surat-menyurat terkait lahan tersebut .
"Selain itu didalam persidangan telah terbukti, bahwa sudah nyata adanya perbedaan posisi dan ukuran batas lahan yang di bebaskan, ternyata tidak pernah dilakukan verifikasi maupun revisi oleh Notaris tersebut," jelasnya.
Dikatakanya lagi bahwa, didalam akta yang dibuat Notaris tersebut, terdapat pasal nomor 10 yang menjelaskan bahwa bilamana akta itu benar Notaris tidak perlu dilibatkan dalam perkara ini.
"Jelas Notaris mengingkari pasal Nomor 10 yang di buatnya tersebut, tertulis bahwa jika akta yang dibuatnya itu benar maka dirinya (Notaris) seharusnya tidak perlu dilibatkan dalam perkara ini, akan tertapi dia hadir, tentu membuktikan bahwa penetapan Akta tersebut memiliki masalah dan jelas akta yang dibuatnya tidak lah benar," ungkap Advokat Firma Hukum Nusantara in.
Edward L Tambunan juga menuturkan hal ini terungkap pada persidangan sengketa pembebasan lahan untuk pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong terindikasi adanya Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Persidangan tersebut dilakukan oleh Pengadilan Negeri Sanggau Kemudian, didalam persidangan terungkap bahwa pembebasan lahan tersebut memiliki anggaran dari APBN senilai Rp 8.3 Miliyar, namun Fakta dalam persidangan menyebutkan bahwa nilai persatuan Surat Pernyataan tanah (SPT) hanya senilai 30 Juta, sedangkan dalam pembebasan lahan tersebut meliputi 4 SPT namun yang di bebaskan hanya 3 SPT.
Sementara Juru bicara Pengadilan Negeri Sanggau, Muhammad Nur Hafizh membenarkan Pengadilan Negeri Sanggau telah mengelar persidangan sengketa lahan TBI Entikong, dan pada persidangan pada hari Kamis 8 Agustus 2024 dengan agenda persidangan menghadirkan bukti dan saksi tambahan dari pihak tergugat dan pengugag.
"Pada Kamis 8 Agustus 2024 untuk agenda pembuktian yang terakhir oleh para pihak, dimana para penggugat dan tergugat menghadirkan saksi. Hakim 1 Majelis Hakim persidangan Sengketa lahan TBI Entikong juga menuturkan setelah persidangan kemarin, selanjutnya persidangan akan ada kesimpulan dan dilanjutkan dengan putusan," ujarnya.
saat di konfirmasi. Sementara satu diantara saksi yang hadir dalam sengketa lahan TBI Entikong yakni Sekdes Entikong Edi Setia Saputra, Sekertaris Desa Entikong membenarkan lokasi TBI Entikong sebelumnya adalah lahan kebun lada yang di kuasai oleh kelompok tani yang berkelompok menggarap lahan seluas satu hektare.
"Dari awal pembebasan lahan, perangkat Desa tidak pernah dihadirkan dari mulai perencanaan, maupun pembangunan TBI Entikong itu kami tidak pernah dilibatkan sama sekali, bahkan saat pembebasan lahan saja kami tidak mengetahui," ujarnya.
Dirinya juga mempertanyakan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan TBI Entikong ini, kenapa tidak mau melibatkan perangkat desa.
"Kenapa setelah terjadinya masalah ini baru kami dilibatkan bahkan sudah nyaris ribut bawa senjata tajam, seharusnya dari awal kami bisa dilibatkan, agar tidak terjadi permasalahan seperti ini, padahal desa lah yang mengetahui asal usul lahan tersebut, "kata Sekdes Edi.
Dikatakannya lagi," lahan itu awalnya di garap oleh beberapa kelompok tani lada, yang masing-masing tiap petaknya seluas 1 Hektare," pungkasnya.
Sebelumnya pengadilan negeri sanggau gelar sidang lapangan terkait sengketa lahan Terminal Barang Internasional Entikong terkait ada pemilik lahan menggugat terkait menuntut ganti rugi.
Sebelumnya pengelola lahan hektare yang terkena pembangunan terminal barang internasional (TBI) Entikong yang berada di sekitar kawasan Pintu lintas batas Negara (PLBN) Entikong mengaku dulunya lahannya itu kebun lada (sahang) Kepada wartawan saat di temui pada sidang lapangan di bulan Juni 2024, Darsono (70) pengelola lahan pertama mengatakan dirinya dulu bersama kawan-kawannya mengharap lahan itu untuk di kelola menjadi kebun.
"Dulu kami tanam sahang (lada) ramai-ramai, tanah itu kami kelola mulai tahun 1981, di berikan oleh Pemerintah seluas 1 hektar tak boleh lebih untuk satu kelompok, karena kami belum ada uang, maka saat itu belum mampu buat sertifikat, makanya surat-suratnya hanya berupa Surat keterangan Tanah (SKT),"ungkapnya
Ia juga menuturkan karena tak mampu mengurus berkas menjadi sertifikat, karena meskipun lada itu sudah sempat panen, tapi harga lada saat itu sangat murah yakni sekitar satu ringgit lebih.
"Dulu harga lada murah, kami jualnya ke Tebedu Malaysia, cuma sekitar 1 RM lebih, karena kalau Tebedu lebih dekat pupuk boleh hutang, kalau di Sanggau tak bisa hutang dan jauh," ungkapnya.
Antonius Ja'in (61) sesama petani Lada Ia juga pun menuturkan dirinya menggarap lahan kebun tersebut bersama sama warga setempat yang tergabung kelompok Tani Tunas Mekar sekitar 20 petani Lada.
"Satu hektar lahan ini dulu ada sekitar 1500 tanaman lada yang kami garap secara gotong royong sekitar 20 orang," ungkapnya.
Tak hanya itu, saat dibangunnya Terminal Barang internasional Entikong, dirinya dan warga lain pun tak pernah diberitahu dan di libatkan oleh Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI.
Seperti diketahui ternyata pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong menyisakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan yakni pemilik lahan menggugat lahan sekitar 1700 M2 yang berada di kawasan Pintu Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong.