Analisa Direktur Indef Utang Pemerintah Indonesia: Masih Aman atau Membahayakan Rakyat!

Tangkap layar
Sumber :
  • Youtube akbar faizal

Siap –Utang pemerintah Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada akhir tahun 2023, utang pemerintah mencapai Rp8.041 triliun, atau setara dengan 38,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Kebijakan pemerintah yang mengandalkan utang untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan stimulus ekonomi selama pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya utang pemerintah.

Namun, apakah utang pemerintah Indonesia masih aman? Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid menilai bahwa utang pemerintah Indonesia sudah mulai membahayakan.

Dalam tayangan YouTube Akbar Faizal, Tauhid mengatakan bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia saat ini sudah mendekati batas aman yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yaitu 60% dari PDB.

Selain itu, Tauhid juga menyoroti meningkatnya rasio bunga utang terhadap PDB Indonesia.

Pada tahun 2023, rasio bunga utang terhadap PDB Indonesia mencapai 2,0%.

Tauhid menilai bahwa meningkatnya rasio bunga utang terhadap PDB menunjukkan bahwa pemerintah mulai kesulitan untuk membayar utang.

"Pemerintah sudah mulai kesulitan untuk membayar bunga utang. Ini yang saya khawatirkan," kata Tauhid.

Tauhid juga menyoroti risiko suku bunga global yang meningkat. Menurut Tauhid, peningkatan suku bunga global akan membuat biaya bunga utang Indonesia menjadi lebih mahal.

"Risiko suku bunga global ini yang harus diwaspadai," kata Tauhid.

Menurut Tauhid terhadap utang pemerintah Indonesia ini menambah kekhawatiran masyarakat akan dampak jangka panjang dari utang pemerintah.

Menurut Tauhid mengatakan, rasio bunga utang negara perlu diturunkan. Saat ini, rasio bunga utang negara mencapai 38,02%.

Angka tersebut lebih tinggi dari rasio bunga utang negara pada tahun 2019, yang hanya 33,88%.

"Saya kira memang rasio bunga utang itu harus turunkan ya tidak lagi lebih besar lagi ya karena tadi kan ee sekarang kemarin H 39 mendekati 40 sekarang 38 sebenarnya trennya bagus ini ya tapi jangan lagi ditambah misalnya ke depan harus 50% Nah itu saya kira akan sangat berisiko dan ini kasihan teman-teman kementerian keuangan yang berusaha untuk menuju e arah kebaikan begitu ya".

Tauhid juga mempertanyakan posisi BUMN dalam pengelolaan utang negara. Ia menilai, BUMN yang berutang tidak dapat dianggap sebagai beban negara.

"BUMN kita atas berbagai beban-beban dan tanggungjawab-tanggung jawab yang diberikan oleh negara karena bummn milik negara tetapi ketika berutang dianggap bukan beban negara itu menghadapi risiko gagal bayar dan kemudian bermasalah," kata Tauhid.

Tauhid menilai, pemerintah harus bertanggung jawab jika BUMN mengalami gagal bayar. Hal ini karena BUMN memiliki kewajiban untuk memberikan dividen kepada negara.

"Kalau mendorong perekonomian dia tidak harus untung rugi pun enggak apa-apa yang penting ekonomi tumbuh nah itu yang kemudian misleading terhadap pengelolaan utangnya itu sendiri begitu loh enggak apa-apa kalau memang Ternyata harus rugi karena melakukan tugasnya tapi kalau juga beban yang diberikan kepadanya terlalu berat dan kemudian cololaps ya ada dua pendekatannya manajemen yang tidak mampu atau memang beban yang diberikan terlalu terlalu berat gitu ya," kata Tauhid.

Tauhid menyarankan, pemerintah perlu melakukan restrukturisasi utang BUMN. Hal ini untuk memastikan bahwa BUMN mampu membayar utangnya.

"Saya kira pemerintah harus melakukan upaya-upaya gitu ya termasuk tadi konsolidasi merger dan sebagainya dalam rangka penguatan struktur permodalan mereka agar mampu membayar utang begitu ya," kata Tauhid.

Ahmad Tauhid mengungkapkan kebijakan pemerintah yang terus menambah utang negara.

Tauhid menyoroti beberapa hal yang menurutnya perlu diperbaiki terkait kebijakan utang negara. Pertama, pemerintah perlu membatasi rasio beban utang terhadap pendapatan rakyat.

Saat ini, rasio tersebut masih cukup tinggi, yaitu 25,8% pada 2023.

Kedua, pemerintah perlu mengevaluasi rencana penerimaan pegawai hingga 2,3 juta orang. Tauhid menilai, rencana tersebut kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk mengurangi beban utang.

"Pada saat situasi seperti ini, kenapa justru terobos yang kita inginkan yang jauh lebih efektif dan efisien bernama pendekatan teknologi dalam hal-hal menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan administratif ini kan pasti PNS ini kan administratif gitu kan," kata Tauhid.

Ketiga, Tauhid menilai pemerintah terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan hal-hal yang seharusnya menjadi penguat dari pertumbuhan ekonomi, seperti kepastian hukum.

"Pak Jokowi terlalu fokus pada pertumbuhan ekonominya tapi tidak terlalu memperhatikan dan atau sedikit menempatkannya pada nomor kesekian hal-hal yang seharusnya menjadi penguat dari pertumbuhan ekonomi itu," kata Tauhid.

Tauhid berharap, calon presiden yang akan terpilih nanti dapat memperbaiki kebijakan utang negara agar tidak menimbulkan beban yang lebih besar bagi generasi mendatang.