Mengenal Tokoh Muslim Tionghoa Pencomblang Sukarno-Fatmawati

Haji Abdul Karim Oei.
Sumber :
  • Istimewa

Setamat HCS, tahun 1926, Oey Tjen Hien merantau ke Bintuhan, Bengkulu.

Di sana, ia berdagang hasil bumi dan sering berinteraksi dengan orang Melayu terutama warga Muhammadiyah.

Interaksi itu menjadi salah satu dari sekian aske, Oey Tjeng Hien kemudian mengamini Islam sebagai takdir hidup.

Ia bergabung dengan organisasi Muhammadiyah dan langsung diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah Bengkulu (1947-1942). 

"Sekarang namanya lebih terkenal dengan sebutan Bapak Haji Abdul Karim Oei," kenang Buya Hamka pada Da'wah dan Asimilasi.

Abdul Karim Oei langsung akrab dengan Buya Hamka. Hubungan mereka makin erat saat Hamka berkunjung ke Bengkulu tahun 1938.

Saat bertemu, selain saling membincang perkara agama, juga bicara hal-hal ringan dan acap berseling kelakar.

Pertalian persahabatan itu pun melibatkan Sukarno.

Setelah dibuang selama lebih-kurang empat tahun di Ende, Flores, pemerintah Belanda kemudian menempatkan Sukarno di Bengkulu.

Ia lalu bersentuhan dengan orang-orang Muhammadiyah, seperti Hassan Din (kelak jadi besan) dan Karim Oei.

Dari Hassan Din, mula-mula Bung Karno mendapat tempat menjadi pengajar di sekolah Muhammadiyah, lalu setelah itu menjadi anggota organisasi nanti didirikan KH. Ahmad Dahlan.

Dengan Karim Oei, Sukarno sempat mengajaknya untuk berwirausaha membuat usaha mebel.

Sukarno akan sudi membuat gambar, lalu Karim Oei mewujudkannya hingga laku terjual. Usaha itu diberi nama "Suka Merindu".

Karim Oey menjadi semakin dekat dengan Bung Karno. Bahkan untuk persoalan pribadi. Termasuk ketika Si Bung mulai jatuh dengan gadis jelita putri Hassan Din.