Guru Besar Ilmu Hukum soal Penetapan Tersangka Eks Ketua KPK Firli Bahuri: Dasarnya Apa?

Sidang praperadilan eks Ketua KPK Firli Bahuri
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang praperadilan yang dilayangkan oleh mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, tersangka kasus dugaan pemerasan eks Mentan, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Dalam sidang keempat ini, memasuki agenda pemeriksaan saksi dan keterangan ahli yang menghadirkan, guru besar di bidang ilmu hukum, yakni Prof Romli Atmasasmita

Dalam persidangan terungkap, bahwa suatu perkara pidana setelah dibuat laporan polisi tidak bisa langsung dilakukan penyidikan, tetapi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu.

Itu dilakukan oleh penyelidik, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. 

Nah terkait hal itu, dalam hal tidak dilakukan penyelidikan dan langsung dilakukan penyidikan dalam suatu perkara. 

Itu tidak dapat dinyatakan sah penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut. 

Karena tidak ada penyelidikan terlebih dahulu oleh penyelidik, yang berarti belum ditemukan adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Menurut Prof Romli, apabila dalam proses penyelidikan tidak dilakukan pemeriksaan klarifikasi atau interview terhadap terlapor, maka penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut, tidak sesuai prosedur yang berlaku.

"Karena tidak ada klarifikasi terkait dengan apa yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor, serta tidak ada ruang dan waktu bagi terlapor maupun saksi, untuk menyangkal tuduhan pelapor atau mengakuinya," tutur dia.

Prof Romli menerangkan, bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). 

"Unsur mens rea atau unsur actus reus harus dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/penyidikan," paparnya.

Kemudian, apabila salah satu unsur mens rea atau unsur actus reus tidak dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan atau penyidikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

"Bukti permulaan yang cukup dalam tahapan dalam penetapan tersangka sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah," jelasnya.

Dalam hal ini, di dalam tahapan penetapan tersangka Firli Bahuri, bukti permulaan yang cukup tersebut harus benar-benar menunjukkan bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana.

"Apabila dalam suatu tindak pidana terbukti hanya ada 1 (satu) alat bukti yang sah dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka tidak dapat dijadikan dasar sebagai penetapan tersangka."

Guru Besar Universitas Padjadjaran itu merangkan, bahwa prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional dan transparan. 

"Agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka," katanya.

Dirinya menambahkan, alat bukti dalam menetapkan tersangka tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif. 

Sedangkan dalam penetapan tersangka terhadap Firli Bahuri hanya berdasarkan alat bukti yang memenuhi unsur kuantitatif, tetapi tidak memenuhi unsur kualitatif. 

Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor.