Peristiwa Gedoran, Sejarah Kota Depok nan Kelam

Orang-orang Depok zaman dulu.
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Pasca-Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, persisnya tanggal 11 Oktober 1945, ketenangan kota yang menjadi perbatasan Bogor dan Jakarta berubah menjadi peperangan antarsesama pribumi.

Jeritan histeris anak-anak kecil dan ibu-ibu yang memilukan, menggaung cukup keras menyayat hati.

Sebagian warga Depok yang bermukim di Jalan Pemuda (nama jalan sekarang), terlibat baku hantam dengan beberapa kelompok yang menyerang dari segala penjuru.

Kejadian itu kini dikenal dengan sebutan Peristiwa Gedoran.

Peristiwa tersebut, menurut beberapa data yang dihimpun siap.viva.co.id terjadi akibat keengganan orang-orang Depok untuk mengakui kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Pasalnya, Depok pada masa itu sudah memiliki pemerintahan sendiri, tidak mau menerima kemerdekaan yang telah dijaharkan dalam manifestasi kemerdekaan oleh Proklamator, Sukarno-Hatta.

Selain itu, mereka (masyarakat Depok) sudah menyatakan merdeka, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Pada tanggal 28 Juni 1714, mereka sudah memiliki tatanan pemerintahan sendiri, Gemeentebestuur (penerus tanah) Depok.

Presidennya pun sudah ditetapkan melalui pemilihan umum yang dilakukan setiap tiga tahun sekali.

Ihwal demikian yang akhirnya membuat marah para pejuang hingga akhirnya memutuskan untuk menyerang Depok tiada ampun.

Penyerbuan tersebut, berdampak pada penyanderaan anak-anak kecil dan kaum wanita di Kantor Pemerintahan Depok (sekarang Rumah Sakit Harapan di Jalan Pemuda, Depok).

Sedangkan kaum pria, digelandang ke penjara Paledang, Bogor.

Seketika, Depok pun dikuasai para pejuang dan jawara yang ikut dalam peristiwa Gedoran.

Kantor Pemerintahan Depok berhasil diambil alih dan diubah fungsi menjadi Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat dibawah pimpinan Ibrahim Adjie.

Namun, menurut sumber lain menyebutkan, Peristiwa Gedoran merupakan buntut dari kecemburuan sosial masyarakat luas terhadap kehidupan masyarakat Depok, yang saat itu sudah hidup mewah.

Masyarakat Depok telah menerapkan gaya hidup kelas atas, gaya hidup masyarakat Eropa memicu kecemburuan sosial bagi yang lainnya.

Dengan bahasa kesehariannya menggunakan bahasa Belanda, sehingga melahirkan sebuah pergolakan masyarakat luar Depok.

Mewahnya kehidupan masyarakat Depok ketika itu, tentu tidak lepas peran dari salah seorang tokoh, Cornelis Chastelein yang pada bulan Mei 1669 membeli Depok dari Lucas van der Meur, sebidang tanah di seberang Sungai Ciliwung, berdekatan dengan Mampang Depok.

Tanah yang Cornelis Chastelein beli, rencananya akan digarap menjadi persawahan dengan mendatangkan 150 tenaga bantuan dari Bali, Makassar, Flores, dan beberapa daerah lainnya.

Dinilai punya loyalitas yang tinggi, Kaum Depok yang mengelola tanah tersebut dikategorikan menjadi dua belas marga yang pada testament (surat wasiat), mereka mendapatkan bagian daripada harta Cornelis Chastelein setelah ia wafat.

Kehidupan yang serba ada itulah, kemudian menjadi pemantik kecemburuan sosial masyarakat luar Depok yang pada akhirnya melakukan penyerangan terhadap Kaum Depok.

"Sebenarnya, kisah tersebut sangat melukai hati kami," ucap lirih Ferdy Jonathans selaku korban keluarga Gedoran di Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Jalan Pemuda, Depok, beberapa waktu lalu.