Babak Baru, Legatisi Akan Laporkan Dugaan Korupsi BP2TD ke Kejati Kalbar Jilid 2
- Ngadri/siap.viva.co.id
SIAP VIVA – Kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Transportasi Darat (BP2TD) Mempawah sebanyak 5 orang dimintai pertanggungjawaban setelah di vonis bersalah oleh Hakim.
BP2TD merupakan lembaga diklat milik Kementerian Perhubungan pertama yang dibangun di pulau Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat. Proses pembangunannya dinyatakan sudah bermasalah sejak awal sebelum proyek itu dimulai pada tahun 2016. Terbukti, dengan adanya sejumlah orang yang kini telah meringkuk di balik jeruji besi.
Kendati banyak yang menyangsikan, jika nama-nama mentereng seperti Prayitno, Joni Isnaini, Erry Iriansyah, Rajali Bustam, Nurlela dan Ghazali—yang saat ini sudah dijebloskan ke penjara, merupakan babak akhir dari perjalanan kasus ini.
Merujuk pada fakta-fakta persidangan, bahwa total kerugian negara yang dihasilkan dari korupsi proyek BP2TD Mempawah ini ialah sebesar Rp 32 miliar lebih. Dengan rincian pembangunan BP2TD Mempawah paket 1, negara rugi Rp 2 miliar lebih, pembangunan BP2TD Mempawah paket 2, negara rugi Rp 881 juta, pembangunan BP2TD Mempawah paket 3, negara rugi Rp 10 miliar lebih, pembangunan BP2TD Mempawah paket 4, negara rugi Rp 3 miliar lebih.
Selanjutnya untuk kerugian negara dalam pembangunan infrastruktur dan landscape di gedung BP2TD Mempawah ialah Rp 15 miliar lebih, sehingga total keseluruhan kerugian negara yakni Rp 32 miliar lebih.
Menariknya, dari Rp 32 miliar korupsi secara berjemaah itu, Erry Iriansyah mengkorupsi lebih dari setengahnya, yakni sekitar Rp 22 miliar. Di mana dari uang itu, hanya sebagian kecil saja yang digunakan Erry untuk keperluan pribadi, seperti membeli rumah dan mobil.
Ketua Umum DPP Legatisi, Akhyani BA, menyampaikan pandangannya terkait proses pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Pontianak dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Transportasi Darat (BP2TD) di Mempawah. Saat ini, sudah ada sembilan tersangka. Beberapa diantaranya sudah vonis.
Namun, berdasarkan fakta persidangan yang tercatat dalam direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, nama mantan Bupati Mempawah periode 2009-2014 dan 2014-2018, RN dan istrinya E, banyak disebut.
"Peran nama-nama tersebut sebenarnya cukup besar dalam mengintervensi kegiatan terkait kasus ini. Saat itu, dia menjabat sebagai bupati," ujar Akhyani dalam pernyataannya.
Akhyani juga menyoroti adanya tiga alat bukti yang menguatkan dugaan keterlibatan. Salah satunya adalah penyegelan ruko atas nama RN dan E. Bukti tersebut, menurut Akhyani, telah dipaparkan di pengadilan dan diakui sebagai alat bukti yang sah.
"Ruko yang disegel itu bukan masalah hutang-piutang seperti yang mungkin ingin disampaikan. Tidak ada kaitannya antara RN dengan Erry Iriansyah (terpidana) soal hutang tiga miliar. Logikanya, dia punya kekayaan puluhan hingga ratusan miliar. Ini adalah alat bukti sah yang menguatkan keterlibatan dalam korupsi, bukan sekadar isu," tegasnya.
Selain itu, Akhyani menilai bahwa fakta persidangan menunjukkan keterlibatan lebih dari sekadar nama. "Namanya sering disebut dalam persidangan, bukan hanya dua atau tiga kali, tapi ratusan kali. Hal ini menegaskan adanya peran besar dalam konspirasi tindak pidana korupsi," tambahnya.
Legatisi, di bawah kepemimpinan Akhyani, berencana membuat laporan baru ke Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat untuk menuntut pemeriksaan ulang terhadap RN dan E. Menurutnya, ada dua alat bukti yang cukup kuat untuk membawa nama-nama tersebut ke dalam pertanggungjawaban hukum.
"Harus dikeluarkan lagi surat perintah penyidikan (Sprindik) baru untuk tuntutan baru atas kasus yang sama. Keadilan harus ditegakkan, jangan sampai hanya enam terdakwa yang dihukum. Jangan ada tebang pilih hukum—tajam ke bawah, tumpul ke atas," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kasus ini adalah bagian dari tindak pidana korupsi luar biasa yang melibatkan kebijakan dan keputusan strategis. Oleh karena itu, semua pihak yang disebutkan dalam fakta persidangan harus dituntut secara adil.
"Kasus ini menunjukkan adanya dugaan konspirasi besar. Ini kejahatan luar biasa yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan penting. Keadilan harus menyentuh semua pihak yang terlibat, bukan hanya segelintir orang," pungkasnya.