Mengenal Eko Cahyono, Korban PHK yang Bebaskan Banyak Anak dari Buta Huruf

Eko Cahyono pejuang buta huruf
Sumber :
  • Batikimono/ABDI PURMONO

Siap – Kasus anak putus sekolah, hingga menyebabkan buta huruf dan tak bisa menulis, masih banyak di temukan di Indonesia. Tergerak dengan keprihatinan tersebut, seorang pemuda di Malang, Jawa Timur, punya cara sendiri untuk mengatasinya.

Adalah Eko Cahyono, penyedia jasa layanan perpustakaan keliling yang menjangkau seluruh kecamatan di Kabupaten Malang.

Lebih dari 21 tahun Eko Cahyono menekuni aksi sosialnya tersebut, demi memberantas buta huruf, minimal di lingkungan tempatnya tinggal. Tujuannya mendirikan Pustaka Anak Bangsa selama itu, sangat sederhana tapi mulia.

Eko Cahyono prihatin, karena masih ada anak-anak yang tidak sekolah hingga buta akhirnya buta huruf. Hal itulah yang memicu semangatnya untuk membuat mereka bisa membaca dan menulis.

Kini, tercatat ada sekira 26 perpustakaan menjadi perpanjangan tangan Pustaka Anak Bangsa besutan Eko Cahyono.

Perpusatakaan keliling itu tersebar di 35 desa di tujuh kecamatan se-Kabupaten Malang, di antaranya Poncokusumo, Tumpang, Wates, Kepanjen.

Perpustakaannya ini ia buka 24 jam, di sana tak cuma ada peluang membaca koleksi ribuan bukunya.

Namun kegiatan lain bisa dilakukan seperti belajar komputer, melukis di kanvas, menonton film bareng, belajar memasak, menjahit, diskusi setiap Sabtu malam, hingga menanam obat-obatan 27 tradisional.

Bahkan terdapat bimbingan belajar bagi pelajar SD atau madrasah Ibtidayah secara gratis.

Cakupannya pun makin luas dengan menggelar perpustakaan keliling di pos ojek, salon, bengkel motor, rental komputer, dan lain-lain.

Disisi lain, Eko tak mau ikut menghakimi masyarakat berdasar survei tingkat literasi. Baginya, masyarakat justru sedang mengalami kesenjangan akses terhadap buku.

Menurut dia, tidak banyak buku yang sampai di hadapan masyarakat.

“Selama kebijakan perbukuan tidak berpihak pada rakyat, tingkat literasi ya begitu-begitu saja. 21 tahun saya bergelut di perpustakaan. Masyarakat tak menolak jika ada yang memberi buku,” katanya dikutip dari terakota.id.

Jadi Korban PHK Perjalanan Eko untuk menciptakan perpustakaan keliling tidaklah mudah.

Semua itu berawal ketika dirinya ikut menjadi korban krisis ekonomi 1998 yang merontokkan banyak perusahaan.

Eko kena PHK saat usianya kala itu baru 18 tahun. Aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut Presiden Soeharto turun pun terjadi di sejumlah daerah.

Gerakan mahasiswa ini menginsipirasinya untuk berbuat lebih pada masyarakat di lingkungannya.

Awalnya, ia hanya bermodal 400-an majalah bekas, lalu Eko Cahyono merintis perpustakaan dari rumah orang tuanya.

Susah payah mengumpulkan buku dan menjajakan dari pintu ke pintu. Setidaknya dua kali dalam sepekan, membuka perpustakaan keliling.

Rupanya langkah itu cukup mujarab, banyak masyarakat mengenal lantas berkunjung ke perpustakaannya.

Dari situlah akhirnya perjuangan Eko membuahkan hasil. Padahal tadinya, Eko hanya menempati sebuah gubuk bambu sebelum menempati bangunan permanen seperti sekarang.

Eko bermimpi, kelak suatu hari nanti perpustakaan yang dirintisnya itu akan menjadi sebuah lembaga resmi program Kejar Paket B dan C bagi anak-anak yang putus sekolah.

Ikhtiar Eko untuk mengubah nasib anak Indonesia menjadi jauh lebih baik menuai apresiasi dan dukungan banyak pihak. Salah satunya datang dari program SATU Indonesia Awards, Astra.