Kominfo Berikan Jurus Jitu Cegah Kekerasan Seksual di Ruang Digital

Salah satu tindakan kejahatan di ruang digital yang harus diwaspadai
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi layaknya pisau bermata dua. Satu sisi dapat memberikan aspek positif bagi pemenuhan hak asasi manusia, namun di sisi lainnya memberikan ruang bagi para pelaku kejahatan di dunia maya.

Salah satu tindakan kejahatan di ruang digital yang harus diwaspadai adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Tindakan tersebut merupakan satu jenis kekerasan seksual yang menggunakan sarana siber dalam tindak kejahatannya.

Pendiri Komunitas Senyum Puan, Ade Lativa Fitri mengatakan KSBE yang terjadi umumnya seperti  perekaman gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan, menyebarkan informasi elektronik yang bernuansa seksual dan penguntitan.

"Seseorang dapat dikatakan telah melakukan kekerasan seksual, apabila tidak ada persetujuan dari pihak yang menerima ucapan atau perbuatan tersebut,"ungkap Ade, saat diskusi Program Indonesia Makin Cakap Digital (IMCD) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jumat (9/3/2024).

Ade mengatakan, menurut data Komnas Perempuan jumlah KSBE dengan sfesifikasi Kekerasan Berbasis Gender (KBG)  di tahun 2023 mencapai angka 838 kasus di Indonesia. Bahkan Komunitas Senyum Puan, juga menerima laporan 3 hingga 5 kasus KSBE setiap bulannya.

Ia juga meminta agar pemerintah untuk segera mengesahkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan alokasi dana untuk layanan pemulihan korban. Tak hanya itu sosialisasi tentang KSBE perlu gencarkan, agar para korban berani bersuara.  

"Perlindungan terhadap korban dan saksi dijamin oleh UU TPKS. Dalam hal ini negara tidak hanya berfokus pada sanksi hukum bagi pelaku, namun pemulihan psikologis korban," tambah Ade Lativa Fitri.
 
Hal senada dikatakan aktris sekaligus pegiat kesetaraan gender, Hannah Al Rashid. Ia berpandangan, perlunya sosialisasi mengenai perspektif gender di masyarakat dan keluarga sehingga para korban mendapatkan dukungan.

Dirinya juga menggandeng beberapa lembaga swadaya masyarakat, yang ditujukan untuk mengedukasi dan menggalang dana bagi korban kekerasan berbasis gender. Nantinya mereka akan menjadi agen perubahan dan terlibat dalam menciptakan ruang yang aman bagi para korban.

"Apabila sudah disosialisasikan ke masyarakat, maka akan menjadi pencegahan karena sudah memiliki edukasi mengenai kekerasan seksual," ungkap Hannah.

Hannah juga menilai, kekerasan berbasis online juga menjadi isu ya penting karena sangat sering terjadi di ruang digital. Ia juga meminta agar platform sosial media, ikut serta dalam menangani dan mengawasi kasus KSBE ini.

"Semua berhak untuk mengekspresikan diri di dunia digital tetapi harus sesuai dengan batas hukum," tambah Hannah.

Dalam kesempatan yang sama, Founder sekaligus Sekertaris Lembaga Peduli Perempuan dan Anak Bali Sruti, I Gusti Ayu Andani Pertiwi, lebih jauh menjelaskan mengenai KGB online. Kekerasan tersebut juga berupa konten online yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual.

Dalam hal ini, penerapan literasi digital menjadi sangat penting dalam mencegah KBG online. Karena pengguna media sosial, tidak hanya dituntut dapat menggunakan teknologi, namun juga memahami implikasi sosial, etika, dan keamanannya.

"Mengubah pengaturan privasi pada akun media sosial, memblokir pelaku atau melaporkan perilaku mereka kepada platform media sosial atau otoritas yang relevan," I Gusti Ayu menimpali.

Ia juga meminta masyarakat selektif dalam berbagi informasi dan sadar akan risiko yang ada di dunia maya. Terutama mampu mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri sendiri dan orang lain terhadap kejahatan tersebut.

"Bagi para korban untuk dapat mengakses layanan konseling atau terapi yang ditangani oleh profesional yang terlatih dalam menangani trauma," pungkas I Gusti Ayu.

Pencarian Korban Konten yang Tenggelam di Bendungan Benteng Pinrang Dihentikan