Mengenal Sosok Tjoa Tek Swat: Ketika Seorang Pendeta Angkat Senjata
- Dok/Wiki Commons
Siap – Sosok Tjoa Tek Swat mungkin tak banyak yang mengenal atau masuk dalam daftar pahlawan. Namun sumbangsihnya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilupakan begitu saja.
Tjoa Tek Swat seperti sebuah kontradiksi. Mengapa? Ia adalah seorang pendeta, pemimpin jemaat Kristen di Jakarta tapi predikat pendeta tidak menghalangi untuk angkat senjata melawan penjajahan Jepang.
Lazimnya figur pendeta identik dengan pelayanan dan kasih sebagaimana diteladani Yesus Kristus. Artinya seorang pendeta berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggunakan 'jalan pedang' dalam setiap perilaku kehidupannya.
Namun, hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi Tjoa Tek Swat. Ia terpaksa menggalang kekuatan dan mengangkat senjata melawan Jepang.
Tidak banyak sumber atau referensi yang memaparkan sepak terjang perjuangan Tjoa Tek Swat. Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dalam situs resminya hanya mencatat masa hidup dan pelayanan Tjoa Tek Swat namun tidak merinci semua perjuangan sang pendeta tersebut.
Selain itu, sumber-sumber sekunder juga seolah mengabaikan pengorbanan Tjoa Tek Swat.
Dihimpun dari berbagai sumber, Tjoa Tek Swat lahir di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, 29 September 1911.
Ia menempuh pendidikan dasar dan menengah di ibu kota selanjutnya mendalami teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta yang kala itu masih bernama Hoogere Theologische School(HTS) kemudian mendalami pendidikan kependetaan di Bogor.
Ia jugs tercatat sebagai salah satu lulusan pertama HTS dan menyandang gelar doktorandus teologi.
Tjoa Tek Swat melayani gereja di Jakarta yang jemaatnya terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Belanda. Ia pernah melayani GKI Gunung Sahari (Gunsa), Jakarta. Ia juga membantu jemaat di gereja yang dulunya bernama GKJ Senen yang diinternir oleh Jepang.
Dalam masa pelayanan terhadap jemaat, Tjoa Tek Swat menikah Lauw Tjoei Nio. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak yakni Max, Martha dan Peter.
Meski jemaatnya terdapat orang-orang Belanda, hal itu tidak menutup mata Tjoa Tek Swat untuk mengkritik pendudukan Belanda terhadap Indonesia.
Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia, ia kemudian berjuang di bawah tanah melawan penjajahan Jepang.
Tjoa Tek Swat terlibat dalam sebuah gerakan bawah tanah yang dinamai Piet van Dam. Organisasi ini sebagaimana dinukil oleh Benny G Setiono dalam bukunya Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Indonesia menuturkan Piet van Dam bergerak melawan Jepang.
Anggota organisasi ini terdiri dari Tjoa Tek Swat, Warnick dan Lie Beng Giok yang belakangan berganti nama menjadi LBG Suryadinata. Mereka berjuang di wilayah Bogor dan Jakarta.
Perjuangan Tjoa Tek Swat terbilang cukup unik yakni mengumpulkan berbagai informasi penting terkait tentara Jepang, penjagaan, transportasi dan pemindahan tahanan dan gerakan kapal perang Jepang.
Semua informasi itu kemudian diteruskan lewat pemancar radio yang dirancang sendiri dan diteruskan ke markas tentara Sekutu di Australia.
Selain memantau pergerakan tentara Jepang di Jakarta dan Bogor, Tjoa Tek Swat bersama organisasi klandestin Piet van Dam juga menyediakan senjata, suku cadang radia dan pemancar serta berbagai surat keterangan untuk kepentingan para pejuang Indonesia yang berperang melawan Jepang.
Mungkin karena dasarnya bukan tentara, perjuangan bawah tanah Pendeta Tjoa Tek Swat dan dua orang temannya itu tercium oleh bala tentara Jepang.
Pada tanggal 1 Desember 1942, aktivitas Piet van Dam terbongkar dan ketiga anggotanya ditangkap oleh Kempetai Jepang.
Tjoa Tek Swat ditahan dan dipenjarakan. Di dalam tahanan ketiga anggota Piet van Dam itu disiksa dengan hebat dan Tjoa Tek Swat yang kala itu baru berusia 33 tahun dipenggal pada tanggal 12 Desember 1942.
Sementara, temannya Lie Beng Giok selamat dan Warnick sampai sekarang tidak diketahui nasibnya.
Pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, jenazah Tjoa Tek Swat dipindahkan oleh tentara Sekutu dan dimakamkan di Kuburan Belanda Evereld, Ancol, Jakarta Utara.
Tjoa Tek Swat menegaskan dirinya sebagai warga negara Indonesia dengan berjuang melawan Jepang meski statusnya sebagai seorang pendeta.
Baginya berjuang demi kemerdekaan tanah air merupakan bagian dari penghayatan iman Kristiani meski nyawa menjadi taruhannya. Tjoa Tek Swat membuktikan bahwa 100 persen Kristen dan 100 persen Indonesia itu tidak bisa dipisahkan.