Menjejak Peran Kiai Nahdlatul Ulama untuk Stadion Gelora Bung Karno

Pembangunan stadion GBK.
Sumber :
  • Pinterest.com/Fitri Mohede Vita

Siap – Pada tahun 1962, Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV. Momen tersebut dijadikan Presiden Sukarno untuk menunjukkan kewibawaan bangsa di mata dunia.

Muslimat NU Ungkap Alasan Dukung Penuh Supian Suri, Begini Kata Siti Luluk Muflihah

Bung Besar menciptakan Kampung Senayan sebagai titik pembangunan megaproyek pekan olahraga se-Asia itu, salah satunya Stadion Gelora Bung Karno.

Pembangunan stadion GBK.

Photo :
  • arsitekturindonesia.org
Menakar Janji Supian Suri di Hadapan Ratusan Kiai Depok

Julius Pour dalam bukunya Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno mengungkapkan bahwa demi kelancaran Asian Games 1962, Sukarno memutuskan untuk membangun sebuah stadion nan megah.

"Gagasan Sukarno merancang mainstadium yang terindah, terbesar, dan terunik di dunia mendorong kreativitas tim arsitek dari Rusia di bawah pimpinan Sukarno menciptakan rancangan atap temu gelang," tulis Julius.

Polemik Nasab Terus Bergulir, Tiga Ulama Besar Ini Takzim pada Habaib

Ketika akan diresmikan Sukarno, stadion yang berada dalam kawasan dengan luas 270 hektare itu belum memiliki nama.

Hingga pada pagi hari di beranda belakang Istana Merdeka, Bung Karno mengundang Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno, Menteri Olahraga Maladi, dan beberapa pejabat lainnya, termasuk Menteri Agama kala itu KH Saifuddin Zuhri guna membahas nama stadion.

KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren menulis, dalam perbincangan itu hampir disepakati sebuah nama untuk kompleks tersebut, Pusat Olah Raga Bung Karno.

"Nama itu tidak cocok dengan sifat dan tujuan olahraga," kata kiai sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama.

Mendapati komentar itu, para hadirin termasuk Sukarno tampak tidak senang.

"Mengapa?" tanya Sukarno.

Suasana sekonyong tenang. Sang Kiai sejenak bergeming.

"Kata 'pusat' pada kalimat 'Pusat Olah Raga' itu kedengarannya kok statis, tidak dinamis seperti tujuan kita menggerakkan olahraga," kata KH Saifuddin.

Lagi dan lagi. Semua terdiam. Pertemuan itu sempat menjadi canggung. Beda hal dengan Sukarno, yang justru menyergah sang ulama sambil menanyakan usulan nama.

"Namanya adalah Gelanggang Olah Raga. Lebih cocok dan lebih dinamis," kata Kiai Saifuddin. "Nama Gelanggang Olah Raga Bung Karno kalau disingkat menjadi Gelora Bung Karno! Mencerminkan dinamika sesuai dengan tujuan olahraga."

Mendengar usulan itu, para hadiri mulai tampak tersenyum. Sukarno terperanjat.

"Wah! Itu nama yang hebat! Saya setuju," kata Bung Karno.

Bapak Proklamator Indonesia itu akhirnya memerintahkan Menpora Maladi untuk menyematkan nama tempat tersebut menjadi Gelora Bung Karno.

Pembangunan stadion GBK.

Photo :
  • Istimewa

Pada kesempatan itu pula, Kiai Saifuddin mengusulkan pemerintah untuk membangun masjid di areal GBK. Usul itu diterima Bung Karno.

GBK menjadi stadion kebanggaan Indonesia pada saat Asian Games IV. Impian Sukarno yang sudah ada sejak berkunjung ke Moskow pada 1956 akhirnya terwujud.

Mata dunia pun menyoroti kemegahan serta keindahan Stadion Gelora Bung Karno.

Sayangnya, dalam dinamika politik Indonesia, pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, di bawah kepimpinan Soeharto, nama Stadion GBK diubah.

Pada 1989, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 yang berisi tentang pergantian nama Gelora Bung Karno menjadi Stadion Utama Senayan.

Yayasan pengelolanya pun diubah dari Yayasan Gelora Bung Karno menjadi Yayasan Gelanggang Olahraga.

Hal tersebut, tak ayal mengundang kecaman dari masyarakat. Pasalnya, kebijakan tersebut menghilangkan semangat sekaligus nilai historis dari kompleks olahraga tersebut.

Meski pada dasarnya banyak yang tak sepakat. Namun, tak banyak pihak yang berani menentang. Sikap represif pemerintah terhadap perbedaan pendapat memaksa pelbagai pihak yang keberatan untuk tutup mulut. Tak berani memprotesnya.

Hingga akhirnya, pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid, nama asli stadion kembali diperjuangkan.

Usulan pergantian nama tersebut, pertama kali muncul saat digelar rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dan Mensesneg kala itu, yang juga menjadi Ketua Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) pada 24 Oktober 2000.

Usulan tersebut, kemudian direspons Presiden Gus Dur pada saat menghadiri HUT PDI Perjuangan ke-28 di Stadion Utama Senayan, pada 14 Januari 2001.

Ia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 7 tahun 2001 tentang pengalihan nama dari Stadion Utama Senayan kembali ke nama awal, Gelora Bung Karno.