Kisah Keberanian Pasukan Gerak Tjepat dan RPKAD saat Pembebasan Irian Barat
- Istimewa
Sepertinya saat melaksanakan gerilya di sekitar Kaimana, Jhon Saleky bersama Heru Sisnodo bertemu dengan kelompok perlawanan anti-Belanda dipimpin Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan.
Dalam sejarah perjuangan Trikora, kelompok Mandatjan dikenal sebagai penentang Belanda yang kemudian memilih masuk hutan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Karena melihat anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) di tengah hutan, Mandatjan kemudian mengajak mereka bergabung.
Godipun tertangkap tanggal 7 Juni. Saat tertangkap, ia dalam pelarian seorang diri setelah kelompoknya terpecah karena diserang Belanda. Tanpa senjata karena disimpan di dalam hutan setelah bahunya tertembak, Godipun berjalan hingga tiba di sebuah pantai di Kampung Sisir.
Ia pun lupa membawa bungkusan yang isinya kitab suci dan tertinggal di hutan. Di sini jejaknya terendus anjing pelacak Belanda. Beberapa orang penduduk lokal mengejarnya dari belakang sambil mengacungkan golok dan tombak.
Dia mencoba untuk berlari. Namun dicegah oleh sebuah teriakan keras, Berhenti! "Saya balik kanan. Saya pikir akan digorok, tapi rupanya mereka tercekat melihat saya."
Kalung Rosario yang tersembul dari balik bajunya mengagetkan para pemburunya. "Kamu agama apa?" tanya mereka yang dijawab singkat, "Katolik."
Yang bertanya malah tidak percaya dan marah sambil berujar, "Bohong kamu, kamu babi Sukarno, bikin rusak tanah saya. Kamu mau hidup atau mati." Akhirnya Godipun dibawa ke sebuah rumah panggung di pinggir pantai. Di situ ia melihat cukup banyak kuburan yang masih baru. Apakah ada temannya yang dimakamkan di situ? Godipun hanya mengernyitkan dahinya.
Dia ditanya macam-macam, seperti siapa komandannya, di mana dia, di mana teman-teman. Karena memang tersasar, ia tidak bisa memberikan jawaban. Setelah mendapat havermut (oatmeal), minum, dan sebatang rokok, siang itu ia dibawa ke rumah sakit untuk diobati.
Suatu hari di penjara, ia didatangi seorang pastor Belanda berjubah putih yang menawarkan sakramen pengakuan dosa. Ia diajak ke ruangan komandan polisi untuk melaksanakan pengakuan dosa.
"Oleh pastor didoakan supaya Belanda dan Indonesia cepat damai dan saya cepat dipulangkan." Kemudian diketahuinya nama pastor itu van Manen.
Saat kembali ke kamar tahanan, ia melihat di sebuah meja sebuah bungkusan yang ia sangat kenal. "Saya bilang ini punya saya, puji tuhan," ujarnya. Rupanya bungkusan itu berisi kitab Taurat dan Injil.
Setelah di penjara sekian lama, suatu hari mereka dibawa dengan pesawat Dakota ke Biak. Dengan mata ditutup, mereka dituntun ke dalam pesawat yang ternyata di dalamnya sudah banyak wartawan asing. Mencermati penuturan ini, sepertinya peristiwanya berlangsung setelah cease fire.
Di akhir Operasi Banteng Ketaton di Kaimana diketahui bahwa PGT telah kehilangan sejumlah anggotanya. Mereka yang gugur adalah KU I Fortianus dan KU II Gintoro.
Sementara yang terluka tembak adalah KU I Sahudi yang terluka saat terjun dan PU I G. Godipun. Adapun yang gugur di Fak-Fak adalah SMU Picaulima, KU I Atjim Sunahju, KU I Sariin bin Djafar, PU I Lestari, dan PU I Suwito. Dua orang yaitu KU I S. Bomba dan PU I Pardjo hanya mengalami luka ringan.