Daendels Jual Tanah Negara Demi Menggenapi Kekurangan Anggaran Jalan Raya Pos

Jalan Raya Pos antara Probolinggo dan Kraksaan.
Sumber :
  • kitlv.nl

Siap – Pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) terkendala. Pembuatan jembatan di jalur Cianjur-Sumedang tersendat. Begitu pula pemangkasan lereng gunung di jalur Parakamuncang-Sumedang.

Berapa Gaji Kuli Pekerja Pembangunan Jalan Raya Pos Daendels

Pengikisan jalan terjal berbatu di daerah Cadas Pangeran tak kalah pelik. Banyak pekerja tak mampu meneruskan pekerjaan karena melihat teman sejawat hilang nyawa.

Usai menerima laporan tersebut, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels langsung bergerak cepat mencari solusi terbaik.

Kritik Simbolik Raden Saleh untuk Gubernur Jenderal Daendels dan Jalan Raya Pos

Mas Galak tak mau rencana pembangunan jalan untuk kepentingan ekonomi dan militer terganggu. Rencana selesai dalam setahun tak bisa diulur lagi.

Daendels lantas mengeluarkan keputusan tertanggal 28 Maret 1809 tentang penetapan pemberian secara gratis satu setengah pon beras setiap hari dan lima pon garam setiap lima bulan kepada kuli terutama berasal dari daerah sekitar Batavia dan Priangan.

20 Ribu Anak Depok Belum Bisa Ngaji, Supian Suri: Ini Sangat Memperihatinkan

Sementara, para pekerja di jalur Sumedang akan menerima tambahan upah meliputi mandor jalan beroleh tiga ringgit, pekerja pembuat jalan dua ringgit uang perak, dan masing-masing kepala akan ditambah beras sebanyak tiga kantong sebagai penyesuaian dasar.

Pekerja di jalur Megamendung juga ditambah menjadi total 400 pekerja, sementara di jalur Priangan-Cirebon ditambah menjadi total sebanyak 500 pekerja.

Para pekerja di situ semula akan dibayar dengan uang perak diganti menjadi kepingan uang tembaga dan agio.

Dengan penambahan pekerja berikut upah, pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam untuk menutup tambahan anggaran tersebut.

Semula, pembangunan Jalan Raya Pos hanya dianggarkan sebesar 30.000 ringgit, khusus hanya untuk pembiayan pembangunan jalan Batavia-Buitenzorg (Bogor) dan petak-petak jalan di Priangan.

Sementara, jalur Cirebon-Surabaya pembiayaannya dilimpahkan kepada pejabat setempat.

Deandels harus putar otak agar megaproyek tersebut tak mandek lantaran kekurangan anggaran.

Dalam soal keuangan terutama kas negara, Daendels sebenarnya punya tugas maha penting mengelola bahkan mengisi kekosongan kas akibat kemandekan ekonomi setelah seluruh jalur laut diblokade pasukan Inggris.

Beban keuangan negara masih ditambah lagi dengan permasalahan teknis pengerjaan jalan penghubung Anyer-Panarukan.

Jalan Raya Pos - Pasuruan.

Photo :
  • kitlv.nl

Jalan keluar Daendels beroleh pundi-pundi untuk menutup kas negara sekaligus membiayai kekurangan megaproyek itu, salah satunya dengan menyewakan dan menjual tanah negara kepada swasta.

Dalam semua penjualan tanah, menurut Djoko Marihandono dalam disertasi bertajuk Sentralisme kekuasaan pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811: penerapan instruksi Napoleon Bonaparte, penjualan tanah partikelir berlaku syarat utama.

Balai Harta akan meminjamkan hipotik dengan bunga umum kepada pembeli sebanyak 2/3 dari uang induk dan pembeli cukai ajan mengambil alih penyetoran wajib kepada pemerintah atas tanah-tanah penduduk.

Daendels menyetujui penjualan tanah negara pertama pada bulan Agustus 1808 di pedalaman Batavia, meliputi Kedung Badak, Danambo, Bekasi, Papisangan, Durian Seribu, Bojongsari, dan Cicuruk.

Tanah tersebut dilelang dan jatuh kepada para orang Eropa dengan raihan penjualan khusus bagi penerimaan negara sebesar 181.500 ringgit. Belum lagi tanah di daerah Tangerang, Jasinga, Banten hingga Kerawang.

Pada tahun berikutnya, Tanah Dua Ratus laku terjual sebesar 10.600 ringgit, Pasar Weltevreden laku seharga 170 ribu ringgit, Marunda Kecil laris di angka 6.100 ringgit, petak tanah bernama Qual laku di tangan Tan Ko Seng dengan harga 3.256 ringgit.

Berpindah di wilayah Buitenzorg (Bogor). Daendels menjual tanah Buitenzorg, meliputi daerah Ciawi, Pondok Gede, Cisarua, Ciomas, Cicurug, Dermaga, Sindangbarang, Tanah Blubur, Kampung Baru, dan Istana Pondok Gede dengan nilai total 751.500 ringgit.

Meski begitu, Daendels mendasari penjualan dengan syarat, salah satunya penduduk wajib menanam kopi kemudian dijual sebanyak 8-10 pikul dengan harga telah ditetapkan sebesar 4 ringgit per pikul atau 225 pon.

Selanjutnya tanah di Besuki dan Panarukan.

Demi menutup defisit keuangan di Surabaya sebesar 231.816 ringgit, 47 stuiver, 8 penning uang perak, serta 4 ribu ringgit uang kertas, sementara kekurangan uang untuk Semarang sebesar 296.490 ringgit kertas, 349.020 ringgit, dan 47 stuiver, Daendels terpaksa menyewakan tanah di Besuki dan Panarukan kepada Kapten Tionghoa di Surabaya Han Tjan Pit sebesar 9.000 ringgit uang perak per tahun sepanjang hidup.

Dicermati sedikitnya penghasilan dari kabupaten berada di bawah drost Pasuruan, Daendels merencanakan menjual tanah Probolinggo agar bisa mengisi kas negara.

Sang Marsekal menawarkannya kepada Han Tjan Pit, namun kapitan tersebut mengaku kekurangan uang lantaran kadung menyewa tanah Besuki dan Panarukan.

Kedua pihak kemudian menemui jalan tengah pembelian senilai satu juta ringgit dengan skema cicilan 50 ribu uang ringgit perak dalam 20 kali pembayaran dengan tenggat 10 tahun dan tanah Besuki serta Panarukan sebagai jaminan.

Paling tidak dengan tambahan uang dari hasil penjualan dan persewaan tanah negara, Daendels bisa agak bernapas lega menjaga kas negara sekaligus melanjutkan penyelesaian pengerjaan Jalan Raya Pos.