Mineral Kritis Jadi Alat Tekan, Hilirisasi Dipertaruhkan dalam Kesepakatan?
- Istimewa
Siap –Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan Transnational Institute memberikan respon kritis terhadap dua kesepakatan perdagangan baru-baru ini yang dicapai oleh Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), khususnya terkait isu mineral kritis, di mana Indonesia telah berhasil meningkatkan nilai tambah hingga 20-30% untuk komoditas seperti nikel sejak larangan ekspor mentah diberlakukan pada 2020.
Isu mineral kritis sering digunakan Pemerintah Indonesia sebagai daya tarik utama dalam negosiasi dengan AS dan UE untuk mendapatkan kesepakatan menguntungkan.
Namun, kerahasiaan informasi dalam proses negosiasi termasuk isi kesepakatan akhir telah memunculkan kekhawatiran atas adanya “tukar-guling” kepentingan yang dapat merugikan kedaulatan energi dan sumber daya Indonesia, khususnya dalam agenda transisi ekonomi hijau yang berkeadilan.
Berdasarkan update terbaru hingga 19 Juli 2025, kesepakatan tarif resiprokal dengan AS (diumumkan 15 Juli) mencakup komitmen Indonesia membeli 50 jet Boeing dan meningkatkan impor produk pertanian serta energi AS, sementara CEPA dengan UE (political agreement 13 Juli) menargetkan finalisasi September 2025 dengan liberalisasi 80% tarif barang dan jasa.
Pengamanan rantai pasok mineral kritis telah menjadi isu strategis dalam negosiasi perdagangan internasional, yang kini dijadikan senjata oleh negara-negara maju seperti AS dan UE untuk menekan negara berkembang kaya mineral.
Pertarungan ini sering memberikan tekanan pada negara berkembang yang sedang membangun industri nilai tambah, menciptakan kontradiksi langsung dengan kebijakan hilirisasi Indonesia.
Mineral Kritis Jadi Alat Tekan, Hilirisasi Dipertaruhkan