Viral di Media Sosial, Ternyata Ini Profil Suku Togutil Orang Rimba di Halmahera Maluku Utara
- Istimewa
Siap –Belum lama ini jagat media sosial dihebohkan dengan sebuah potongan video orang rimba Halmahera Maluku Utara yang disebut Suku Togutil yang mendatangi pekerja proyek dan viral.
Lantas siapa sebenarnya orang rimba yang disebut suku Togutiil itu? Suku Togutil ini dikenal juga dengan etnis Tobelo Dalam.
Wakil Rektor Universitas Halmahera (Uniera) Dr Sirayandris J Botara MSi Teol menjelaskan, sesungguhnya sebutan Suku Togutil tidak sesuai dengan status kultural dari komunitas ini.
“Suku Togutil berkaitan dengan pelabelan terhadap komunitas, ini yang diwarisi sejak lama. Masyarakat lokal mengenal ini dengan Tugo Tukil, maka jadilah Togutil, sering dikaitkan dengan naluri berburu dari komunitas ini,” kata Sirayandris seperti dikutip kompas.com.
Komunitas ini, kata Sirayandris, lebih memilih disebut Ohongana Manyawa. Jika diterjemahkan, ohangana bisa diartikan orang hutan, dan manyawa itu manusia atau orang.
"Tapi bukan itu arti sebenarnya. Ohongana Manyawa lebih tepat diartikan sebagai orang yang mendiami belantara hutan Halmahera, maknanya orang yang hidup bersama alam."
"Ohangana Manyawa menggunakan Bahasa Tobelo sehingga disebut Tobelo Dalam,” tuturnya.
Namun, ini berbeda lafalnya di beberapa tempat seperti di Kabupaten Halmahera Tengah, yang mana bahasa Tobelo pada komunitas ini sudah dipengaruhi oleh bahasa sub etnis Tabaru, yakni salah satu subetnis yang ada di Halmahera khususnya di Kabupaten Halmahera Barat.
Anggota komunitas ini yang sudah berbaur dengan masyarakat juga sangat jarang atau tidak lagi disebut lagi Ohangana Manyawa.
Mereka ini masih dapat dijumpai di Sebagian wilayah Kabupaten Halmahera Timur, seperti Miaf, Maba Tengah, Tanjung Lili, Dorosago, Maba Utara, Waya, dan Wasilei Utara.
Sementara di Kabupaten Halmahera Tengah, seperti di Akejira, Weda Timur, Weda Utara, bisa juga ditemukan di Oba dan Oba Selatan.
Di wilayah-wilayah tersebut komunitas ini masih mempraktikkan pola hidup masyarakat nomaden atau berpindah-pindah, kemudian selalui terkait dengan musim dan sumber makanan yang tersedia.
"Jadi karena mereka masih hidup dari alam maka cara konsmsi makanan masih alamiah,” ungkap Sirayandris.
Pola hidup masyarakatnya masih genuine, misal jika seorang bayi baru lahir, mereka tidak mengingat dengan penanggalan masehi tapi dengan jalan menanam pohon atau semacam tanaman.
Kemudian tanaman itu ditanam bersamaan dengan plasenta bayi dari lahir, lalu bayi itu dinamakan sesuai dengan nama pohon itu.
Jadi misal, tebu dengan bahasa Tobelo namanya Ugaka, maka anak itu diberi nama Ugaka.
Kemudian, terkait data komunitas ini, Syrandris mengatakan masih sulit didapat yang bersentuhan dengan masyarakat, dan masih tergolong berisiko untuk menjumpai mereka.
Namun, kultur dari komunitas ini yang sering berpindah, tentu tidak mudah beradaptasi dengan masyarakat.
“Komunitas ini menurut saya adalah komunitas yang masih memelihara alam Halmahera dan merawatnya sepenuh jiwa jadi mereka perlu dilindungi,” katanya.