Gagal Paham Gentrifikasi, Chandra Sentil Kubu Petahana Depok: Ngakunya Berpengalaman

Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok, Supian-Chandra
Sumber :
  • siap.viva.co.id

Siap – Calon Wakil Wali Kota Depok nomor urut 02, Chandra Rahmansyah mengkritik program petahana yang mengandalkan mesin insenerator sebagai upaya menanggulangi masalah sampah.

Deolipa Yumara Seret Idris-IBH hingga Kepala Damkar Depok ke Pengadilan, Ini Temuannya

Terlebih sejak diketahui, bahwa ide tersebut sempat gagal dieksekusi ketika Supian Suri menjabat sebagai Sekda Depok. 

Ada sejumlah alasan yang menyebabkan insenator rekomendasi Imam Budi Hartono selaku petahana Depok itu dipersoalkan. Utamanya belum lulus kajian di akhir tahun 2023.

Supian-Chandra Sindir Petahana Depok soal Puskemas Gratis: Kemarin Kemana Aja Pak Imam?

"Ya seperti yang kemarin debat, saya sampaikan jangan menyelesaikan masalah bikin masalah baru, kemarin pantesan paslon 1 bercerita tentang insinerator terus," katanya dikutip pada Kamis, 7 November 2024. 

Padahal, jelas Chandra, dalam teori persampahan yang namanya proses termokimia atau pembakaran dengan metode insenator itu adalah proses yang paling akhir dapat dilakukan. 

Legislator PKB Singgung Ahlak Ririn yang Julurkan Lidah saat Debat Pilkada Depok: Keras Kepala

"Ketika proses yang lain sudah nggak bisa lagi, dikarenakan proses termokimia ini yang mana prinsipnya adalah pembakaran ya menghasilkan emisi gas buangan, berupa gas rumah kaca," tuturnya. 

Kemudian, menurut Chandra, insinerator ini ada gas yang sangat-sangat berbahaya yaitu dioxin. 

"Nah yang mana paparan dioxin ini bisa menyebabkan kanker, bahkan bisa menyebabkan kematian," ujarnya.

"Dan ini yang saya duga mungkin menjadi penyebab kematian yang kemarin pemadam kebakaran kita, yang kemudian pemadam kebakaran tanpa dilengkapi fasilitas masker," sambungnya.

Sosok yang juga dikenal sebagai Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu menyebut, jika kemudian emisi ini juga dibiarkan dan insenerator penyebab dioxin memapar masyarakat Depok, maka dampaknya akan mengerikan. 

"Jangan heran nanti 5 tahun 10 tahun lagi masyarakat Depok banyak yang terkena kanker. Sehingga bener kata Pak Supian, memang harus perlu kajian," tegasnya.

Celakanya lagi, dioxin ini alat ukuran belum ada di Indonesia.

"Dan kalau kita bicara Kota Depok berdasarkan data ICPSN 2021 itu data sudah terverifikasi, mayoritas sampah di Kota Depok 62 persen adalah sampah organik," terangnya.

Alumni Universitas Indonesia (UI) itu menyebut, bahwa sampah organik kurang efektif jika diolah dengan insinerator, melainkan dengan pengolahan biologis.

"Yang mana dia akan menghasilkan biogas dan juga menghasilkan kompos, itu bisa dijadikan uang, emisinya jauh lebih rendah dibanding insinerator," katanya.

Selain itu, cara yang juga ramah lingkungan adalah dengan membudidaya maggot.

"Sisanya 20 persenan itu plastik, masa plastik juga pakai insinerator, itu didaur ulang. Sisanya yang sekian belas persen tadi ya gak mungkin juga kalau kemudian pakai insinerator, artinya gak visible."

"Kenapa? Karena tadi yang saya bilang, kalau insinerator itu di negara-negara maju memang dipakai di Jepang dan juga di Singapura. Insinerator di Jepang dan di Singapura semua dikoneksikan utilitynya untuk pembangkit listrik," sambungnya. 

"Jadi gas berbahaya di capture, ditangkap, diarahkan untuk pembangkit listrik," timpalnya lagi.

Petahana Depok Gagal Paham

Menurut Chandra, paslon nomor 01, Imam Budi Hartono (IBH) dan Ririn gagal paham. Sama juga seperti masalah gentrifikasi.

"Kalau yang ditanya mungkin teman-teman lain yang lagi di pinggir jalan bukan pejabat pemerintahan, itu mungkin hal yang biasa, tapi ini yang ditanyakan adalah notabene orang ini wakil walikota, enggak tau. Ngakunya pengalaman, tapi enggak tahu gentrifikasi gitu loh," ucap Chandra.

"Jangankan udah jadi wakil walikota orang yang mau jadi pejabat tingkat kota aja itu harus tahu yang namanya gentrifikasi, apalagi sudah ngakunya pengalaman jadi wakil walikota, masa gentrifikasi kemudian dipersepsikan sebagai genderfikasi," ujarnya lagi.

Mantan aktivis itu kemudian menegaskan, bahwa genderfikasi juga tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

"Jadi kok akhirnya jawabannya malah ke perempuan naik angkotlah, angkot ber-AC, apa itu yang kemarin bilang enggak nyambung, seperti itu loh," tuturnya.

"Jadi kalau menurut saya sih masyarakat bisa menilai ya, mana yang cuma omon-omon, mana yang menguasai permasalahan," tuntas Chandra.