Jawaban Tegas Rabithah Alawiyah soal Kritik Guru Gembul ke Habib Bahar: Pernah Belain Dia Enggak?

Fikri Rabithah soal Habib Bahar dan Guru Gembul
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Pihak Rabithah Alawiyah akhirnya angkat bicara terkait persoalan nasab (garis keturunan Nabi Muhammad) yang belakangan ini diperdebatkan sejumlah pihak. Salah satunya tentang Habib Bahar bin Smith.

2 Wasiat Menggelegar Habib Bahar untuk Presiden Jokowi Jelang Akhir Jabatan: Minta Maaflah

Beberapa pihak meragukan Habib Bahar sebagai keturunan Nabi Muhammad lantaran prilakunya yang dinilai kontroversi. Hal itu setidaknya sempat diungkapkan oleh Guru Gembul

Ada tindakan dan beberapa ucapan Habib Bahar yang dianggap bertolak belakang dengan prilaku Nabi Muhammad.

Begini Respon Habib Bahar Ketika Dinyinyirin Guru Gembul

Bahkan, di antarnya terkesan mengecilkan ulama atau kiai. Salah satunya yang disinggung adalah satu habib lebih mulia dibanding 70 kiai.

Nah merespon hal tersebut, perwakilan Rabithah Alawiyah, Fikri Shahab angkat bicara. 

Pesan Damai Habib Bahar Dihadapan Pendeta: Kita Semua Satu, Kita Indonesia

Dikutip dari tayangan Nabawi TV, ia menyampaikan apresiasi atas kritikan yang disampaikan oleh Guru Gembul.

"Ini kita apresiasi. Ketika seseorang menyampaikan keresahannya, maka tugas kita adalah memahami, bukan menghakimi keresahan seseorang," katanya. 

"Lalu ketika keresahan itu disampaikan ke publik, maka publik juga mungkin akan menilai, apakah saya punya keresahan juga perspektif yang sama dengan apa yang disampaikan, seperti misalnya Pak Guru Gembul," sambungnya.

Fikri menegaskan, bahwa pihaknya pun mendapati hal yang sama. 

"Jangankan masyarakat umum, Rabithah Alawiyah sendiri pun juga mengalami keresahan yang sama," ujarnya. 

"Seperti pak guru sampaikan di awal, mungkin ini ada bubble yang akhirnya meletus ketika ada isu nasab ini. Artinya sudah ada permasalahan sebelum ini yang baru meletusnya karena ini," timpalnya lagi. 

Fikri menyampaikan, bahwa Rabithah Alawiyah juga merasa kritik yang disampaikan Guru Gembul tidak salah.

"Kenapa? karena sebelum isu ini yang mengkoreksi kalangan habaib, meluruskan, memberikan nasehat, memang paling banyak dari Rabithah Alawiyah itu sendiri," tegasnya.

Namun, kata Fikri, ada yang mengindahkan ada pula yang tidak. Ada yang menerima, lalu memperbaiki diri, tapi ada yang tidak. 

Ia kemudian menjabarkan, bahwa jumlah alawiyyin (keturunan Nabi Muhammad) dulu dengan sekarang jauh berbeda. 

"Kalau misalnya kita punya permasalahan ini, dulu alawiyyin jumlahnya sedikit, pendidikannya terbatas, terkontrol, sirkuitnya tidak terlalu luas, turunannya bisa diukur dari bagaimana ayah dan ibunya," beber dia. 

Sedangkan saat ini, jumlah alawiyyin begitu banyak. Pendidikan mereka beragam, tinggalnya pun di berbagai negara, dan menerima informasi yang beragam. 

Permasalahan mereka pun sama dengan permasalahan di masyarakat umum. Namun publik akan melihat tentang nasab. 

"Misalnya, oh ini ada kasus narkoba. Nah yang satu alawi yang satu lagi non alawi. Orang akan mulai mempermasalahkan nasabnya. Padahal masalahnya sama, tapi nasabnya menjadi penting," tuturnya. 

"Kenapa? Karena nasab ini orang akan mengukur engkau sebagai keturunan Rasulullah kok begini perilakunya, itu yang menjadi keresahan dari Pak Guru Gembul," sambung Fikri.

"Keresahan itu sangat bisa kami pahami dan kritik ini disampaikan di gedung Rabithah Alawiyah, kami tidak anti kritik," timpalnya lagi. 

Bahkan ia menegaskan, Rabithah Alawiyah pun mengkritik alawi itu sendiri, tidak sekali dua kali, dokumentasinya banyak, tertulis, dan video banyak. 

"Apakah semuanya diterima? Bisa diterima, ada juga yang protes dengan kritik Rabithah. Jadi kita tidak mengukur dari bagaimana orang menerima keresahan, tapi yang penting keresahan itu disampaikan, itu pertama," ucap Fikri. 

Selanjutnya adalah terkait dari bagaimana menjabarkan di awal, bahwa ini ada rentetan yang akhirnya mengakibatkan hal ini dan memunculkan beberapa sosok. Apalagi, kata Fikri, sosok utama yang tadi beberapa kali disebut oleh Guru Gembul.

Lantas bagaimana sikap Rabithah? 

Fikri menjelaskan, bahwa Rabithah Alawiyah ini organisasi yang berdiri jauh lebih dulu dari organisasi yang dibentuk oleh alawiyyin lainnya. Sudah ada sejak tahun 1928, atau bahkan lebih awal lagi. 

Rabithah dipandang sebagai induknya. Organisasi Islam ini menghimpun WNI keturunan Yaman dari sada Ba 'Alwi.  

"Jadi seluruh alawi alawi ini kayak kita satu ras, dalamnya beragam, berbeda-beda karakternya. Nah itu, terjadi keragaman," kata Fikri.

Sikap Tegas Rabithah Alawiyah

Namun yang jelas, Rabithah tidak membenarkan jika ada yang keliru. Hal tersebut lanjut Fikri, bisa dilihat dari jejak atau bukti yang ada. 

"Apakah Rabithah Alawiyah membenarkan perilaku seperti itu (Habib Bahar)? Itu pertama. Ada enggak nih track record Rabithah itu membenarkan perilakunya Sayyid Bahar? Pernah belain dia enggak?" tanya Fikri.

"Rabithah pernah kasih bantuan hukum enggak? Rabithah ini medianya enggak kecil, pernah enggak Rabithah meng-endorse yang seperti itu (Bahar)?" tanya dia lagi. 

Ia menegaskan, bahwa pihaknya tidak pernah memberikan panggung kepada orang-orang seperti itu. 

"Terus orang-orang ini rujukkannya yang mana? Sama enggak dengan Rabithah? Kalau misalnya Rabithah punya rujukan, punya garisnya sendiri lalu ada pihak ingin punya garisnya sendiri, pertama Rabithah itu harus memberikan teguran."

"Tapi diindahkan atau tidak? Memang itu keputusan ada di individu masing-masing. Mau nurut enggak nurut itu Rabithah enggak punya kekuatan hukum. Kalau kita mau menghukum seseorang kita harus mengukur," sambungnya.

Lebih lanjut Fikri juga tak sepakat dengan pernyataan Bahar yang menyebut satu habaib lebih baik dari 70 kiai. 

"Luar biasa seperti itu, kita pun kaget dengarnya dan kita bantah langsung statemen seperti itu. Dan hal ini buat kalangan alawiyin asing sekali," katanya.

Termasuk ketika yang bersangkutan bertentangan dengan keturunan Wali Songo.

"Ini menjadi introspeksi penting, sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Guru Gembul, banyak sosok-sosok tersebut, bahkan lebih besar di masyarakat, lebih besar cakupannya secara media daripada Rabithah," kata Fikri. 

"Sayyid Bahar itu hampir setiap hari ada beritanya di media maenstream. Apakah Rabithah setiap hari ada di media maesnteram? Tidak. Jadi masyarakat lebih banyak nonton Bahar Smith."

Menurutnya hal itulah yang akan dipegang oleh masyarakat sebagai sampel contoh generalisasi, karena paling sering dilihat. 

"Nanti kalau kita ambil sampel-sampel lainnya ternyata tidak seperti itu, dan ternyata, jumlahnya lebih banyak. Kita hidup di era yang mana yang dilihat di media itu yang akan menentukan keputusan dari pemirsanya," kata Fikri.