Ketegangan Meningkat Jelang Putusan MK: Apakah Hakim Mendengar Suara Rakyat?

Jokowi dan gibran
Sumber :
  • Siap.Viva.co.id sumber tvonenews.com

Siap –Pada Rapat Kerja Nasional kelompok relawan Pro-Jokowi (Projo) di Indonesia Arena, GBK, Senayan, Jakarta, Sabtu (14/10), Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, memasuki sorotan dengan kehadirannya yang singkat sekitar lima belas menit. 

Banyak pihak menilai bahwa momen ini menjadi kode keras mengenai potensi Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Sebelumnya, Rakernas tersebut diantisipasi sebagai panggung deklarasi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pilihan Projo. 

Namun, deklarasi tersebut batal dilaksanakan, dan dukungan Projo untuk Capres Prabowo diumumkan di kediaman menteri pertahanan oleh Ketua Umum Relawan Pro-Jokowi, Budi Arie Setiadi.

Menurut Jay Octa, mantan Kepala Sekretariat Direktorat Relawan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin (2019), kehadiran Gibran di Rakernas Projo adalah isyarat kuat bahwa ia bersedia menjadi calon wakil presiden Prabowo pada Pilpres 2024

Wacana Prabowo-Gibran pun semakin menguat, didukung oleh berbagai kelompok penyokong Capres Prabowo, yang ditandai dengan baliho bergambar Prabowo–Gibran yang bertebaran di berbagai daerah.

Munculnya rencana ini tidak tanpa hambatan. Sejumlah pihak, termasuk kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), seperti Dedek Prayudi, mengajukan gugatan terkait batasan usia minimal Capres/Cawapres ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mereka meminta batas usia diturunkan menjadi 35 tahun dari 40 tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemilu. Putusan MK dijadwalkan pada Senin (16 Oktober 2023).

Jay Octa menekankan bahwa jika MK menerima gugatan tersebut dan Gibran menjadi Cawapres Prabowo, Indonesia akan memasuki babak suram, merusak tatanan demokrasi. 

Dia meminta hakim MK mendengar keresahan masyarakat sebelum mengambil keputusan.

Dalam penutup, Jay menyayangkan potensi restu Jokowi terhadap Gibran sebagai Cawapres Prabowo, menilai hal ini sebagai upaya membangun dinasti politik yang disorot oleh banyak pihak sebagai cara culas dan curang, merugikan demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah selama sepuluh tahun.