Gito Rollies, Jejak Rocker Hebat Menuju Taubat
- Istimewa
Siap – Belantika musik Indonesia sempat menghadirkan sosok Gito Rollies sebagai ikonnya. Ia tampil enerjik dan ekspresif di atas panggung bersama band The Rollies.
Layaknya rocker era 80-an, Gito Rollies memberikan warna tersendiri di atas panggung. Siapakah Gito Rollies dan bagaimana kisah ia hijrah?
Gito Rollies terlahir di Biak, Papua, 1 November 1947, dengan nama Bangun Soegito Toekiman. Kiprahnya tidak bisa dilepaskan dari band rock legendaris The Rollies.
Embrio The Rollies lahir pada 1965, diawali oleh Deddy Stanzah (bas), Iwan Krisnawan (drum), Delly Joko Arifin (gitar), dan Tengku Zulian Iskandar (gitar). Gito bergabung pada 1967 dan dua tahun kemudian mereka berkelana ke Singapura.
Gito sebagai vokalis The Rollies adalah penyanyi sekaligus penampil yang berkarakter.
Dia memiliki suara yang mirip James Brown, dan gemar menyanyikan lagu-lagu penyanyi berkulit hitam Amerika Serikat (AS) itu, seperti It’s A Man’s Man’s, Man’s World dan Sex Machine.
Beberapa rekan musisinya menilai Gito Rollies sebagai seorang performer yang baik. Tahun 1970-an Gito bisa melakukan imajinasi tentang James Brown, padahal ia belum pernah melihatnya.
Di atas panggung, gaya Gito sebagai penampil amat eksplosif dan nyaris tanpa saingan. Gito juga dikenal karena gayanya yang cenderung mengarah ke musik R&B, funky, dan soul, ketimbang rock yang keras.
The Rollies kala itu merajai belantika musik karena menawarkan pula dukungan brass section, termasuk Gito sendiri yang merangkap sebagai peniup terompet.
Dibalik suksesnya, Gito Rollies melewati banyak lika-liku kehidupan termasuk pergaulan khas anak-anak muda kala itu.
Ketika merayakan kelulusannya dari SMA, Gito tanpa malu mengendarai sepeda motornya keliling Bandung tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
"Itulah masa jahiliah dalam lembaran kehidupan saya. Untungnya orangtua saya selalu mengajari hal-hal yang baik sehingga ketika saya berpaling dan teringat kembali pada pesan itu, saya banting setir," kata Gito beberapa tahun lalu.
Perlahan, Gito akhirnya berhasil meninggalkan dunia hitam itu.
Selama sekitar sepuluh tahun sebelum meninggal, Gito menjadi "orang rumahan" yang mengasuh keluarganya dengan penuh cinta kasih serta mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Sebelum meninggal dunia, ada satu lagu Gito yang belum sempat dirilis.
The Rollies sering diidentikkan dengan Chicago atau Blood, Sweat and Tears. Band ini mengawali karier lewat cara yang unik, yakni menjadi besar berkat kontrak bermain di sebuah kelab malam di Singapura sekitar akhir 1960-an.
Setelah itu, mereka bahkan sempat melanglang buana ke beberapa negara Asia Tenggara, termasuk menghibur pasukan AS di Vietnam.
Di akhir hayatnya, Gito dikenal sebagai sosok yang relijius.
Selama 11 hari sebelum masuk RS Pondok Indah, Gito sempat berdakwah di Padang, Sumatra Barat.
Meski demikian, masa remaja Gito sempat dihabiskan dengan kehidupan hura-hura, alkohol, dan narkoba.
Sejak remaja, Gito telah menjadi street fighter yang tidak betah di rumah, yang akhirnya membuatnya terperosok ke dunia gelap alkohol serta narkoba.
Semua itu terhenti, ketika Gito mulai insyaf dan kembali ke jalan yang benar.
Gito divonis mengidap kanker getah bening pada 2005.
Sejak saat itu, dia rutin menjalani kemoterapi di Singapura dan di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta.
Tepatnya pada 28 Februari 2008, Gito Rollies berpulang untuk selamanya. Gito meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, setelah berjuang melawan kanker getah bening selama tiga tahun.
Gito Rollies tetap dikenang sebagai penyanyi berkarakter dan serba bisa. Hijrahnya membawa pengaruh positif bagi semua penggemarnya.
Gito Rollies memanfaatkan musik sebagai media dakwah dan pengantarnya menuju alam baka.