Jejak Berdarah Peristiwa Gedoran dan Sejarah Depok

Tugu Selamat Datang di Kota Depok.
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Pada masa Hindia-Belanda, Depok merupakan wilayah yang mempunyai pemerintahan sendiri, mirip dengan Vatikan atau San Marino di Italia.

Depok tidak menganggap bagian dari Indonesia sejak tahun 1714, hampir 250 tahun sebelum deklarasi tersebut dikeluarkan. 

Depok pernah mempunyai sistem pemerintahan sendiri yang diawasi langsung oleh pemerintah kolonial Belanda.

Depok didirikan oleh pemilik tanah asal Belanda Cornelis Chastelein. Pemerintahan Depok disebut Tanah Partikelir. 

Permintaan pemerintah provinsi Depok disetujui oleh pemerintah Belanda di Batavia, dan Tuan Chastelein diangkat menjadi sekretaris provinsi Depok.

Beberapa bulan sebelum kematiannya, Chatelein menulis beberapa surat wasiat untuk keluarga dan budaknya. Dan wasiatnya tertulis dalam sebuah buku berjudul Wasijat-nja

Chatelein tidak hanya membagikan kekayaan dan warisan kepada keluarganya, tetapi juga membebaskan para budak.

Budak-budak ini terbagi menjadi 12 marga dan kemudian dikenal dengan nama Belanda Depok.

Awal Mula Kerusuhan Terjadi

Orang Belanda di Depok mempunyai gaya hidup Eropa yang mewah dan menggunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari.

Budak-budak ini berasal dari berbagai suku, ada yang kawin campur dengan Belanda dan ada pula yang berdarah campuran dengan orang Indonesia. 

Ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan, mereka merundingkan apakah negara Depok akan bergabung dengan Indonesia di Gedung Ebenezer di Depok.

Akibat perundingan tersebut, orang-orang Depok tidak mau bergabung dengan Indonesia. 

Penolakan untuk bergabung dengan Indonesia ini memicu kerusuhan dan penjarahan yang dikenal dengan Gedoran Depok.

Laskar dan personel TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menyerbu dan merobohkan kota Depok

Dalam bukunya 'Gedoran Depok Revolusi Sosial Di Tepi Jakarta 1945-1955', Wenri Wanhar menulis bahwa orang Belanda di Depok terkucil dan tidak diperbolehkan membeli bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari.

Pada 9 Oktober 1945, lima keluarga yang bekerja di OTSNG Belanda dirampok massa. Keesokan harinya, terjadi penjarahan besar-besaran yang melibatkan banyak orang.

Selain penjarahan, juga terjadi pembunuhan dan pelecehan seksual seperti kejadian Mei 1998.

Saat itu, Belanda di Depok dianggap partisan Belanda. Mereka yang mengaku republikan merasa dibenarkan telah menyengsarakan hidup Belanda di Depok.

Rumahnya dijarah, barang-barang pribadinya dirusak, serta jendela dan pintu rumah Belanda di Depok dirusak karena diyakini ada harta karun di dalamnya. 

Peristiwa Gedoran Depok tidak hanya sebatas kebencian kaum republik terhadap Belanda di Depok yang menolak bergabung dengan negara Indonesia. Namun, saat itu masyarakat Depok hidup mewah sehingga timbul pula kecemburuan sosial. 

Gaya hidup mewah itu yang arkian menimbulkan kecemburuan sosial terhadap orang lain.

Hal ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat di luar Depok karena masih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari. 

Penyerangan ke Depok ini bertepatan dengan "masa persiapan" bagi Belanda.

Istilah "masa persiapan" mengacu pada seruan Partai Republik untuk "persiapan" ketika pasukan Sekutu atau Belanda akan lewat. 

Masa persiapan merupakan masa kelam yang penuh dengan kekerasan dan kejahatan.

Gejolak revolusi Indonesia, termasuk peristiwa Gedoran Depok, mencoreng nama Indonesia di mata dunia.

Di dunia luar, Indonesia dipandang tidak kompeten karena ketidakmampuannya mengendalikan keamanan dan kelompok bersenjata yang seringkali didorong oleh emosi.

Tokoh Pejuang Margonda dan Tole Iskandar

Sejumlah tokoh pejuang terlibat dalam peristiwa Gedoran Depok, di antaranya Margonda dan Tole Iskandar.

Saat itu, Margonda menjabat sebagai pimpinan dan berpangkat letnan dua. Sedangkan Tole Iskandar bertugas di Tentara Rakyat Depok dengan pangkat letnan. 

Peran Margonda dalam peristiwa Gedoran Depok sangat penting. Menjelang penyerangan Depok, Margonda bertindak sebagai perantara antara Belanda Depok dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Ia berhadapan dengan Urip Sumoharjo yang saat itu menjabat sebagai pemimpin TKR. 

Namun, proses mediasi terhenti karena pihak luar TKR dan Depok menyamakan Belanda di Depok dengan penjajah.

Penyerangan TKR ke Depok Belanda terus berlanjut. Saat itu, TKR mampu mengusir sementara pasukan NICA. 

Margonda mengatakan, peristiwa Gedoran di Depok membuat warga dan pejuang bubar, padahal seharusnya mereka bersatu untuk menjaga kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu, pasukan NICA menyerbu Depok dan kembali menguasai Depok dengan merekrut pasukan Sekutu untuk membebaskan Belanda di Depok yang ditangkap oleh TKR. 

Singkat cerita, prajurit NICA berhasil mengusir TKR dan membebaskan penduduk Belanda Depok, khususnya tawanan perang perempuan dan anak-anak yang mengungsi di Tajur Halang, Kota Bogor Utara.

Selain itu, tentara NICA berhasil merebut markas TKR dan menggunakannya sebagai markas mereka. 

Pada November 1945, tentara TKR yang terpencar berkumpul kembali dan berencana merebut kembali Depok dari pasukan NICA.

Serangan terbesar TKR terjadi pada 16 November 1945. Serangan tersebut dipimpin oleh Margonda, yang akhirnya dibunuh oleh seorang tentara Inggris saat melemparkan granat ke arah pasukan Sekutu.

Untuk menghormati perjuangannya, kini nama Margonda diabadikan sebagai nama salah satu jalan, pun Tole Iskandar.